Soloraya
Kamis, 2 Mei 2013 - 08:02 WIB

2 Kecamatan di Boyolali Rawan Kasus Putus Sekolah

Redaksi Solopos.com  /  Tutut Indrawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bocah asal Desa Repaking, Kecamatan Wonosegoro, Boyolali berada di pinggir jalur Wonosegoro-Gubug, di sela-sela mencari lidi serta meminta uang kepada pelintas jalan. Bocah tersebut masih duduk di bangku SD sementara kakak kandungnya tak melanjutkan sekolah ke jenjang SMP lantaran tak ada biaya. (Oriza Vilosa/JIBI/SOLOPOS)


Bocah asal Desa Repaking, Kecamatan Wonosegoro, Boyolali berada di pinggir jalur Wonosegoro-Gubug, saat mencari lidi serta meminta uang kepada pelintas jalan. Bocah tersebut masih duduk di bangku SD sementara kakak kandungnya tak melanjutkan sekolah ke jenjang SMP lantaran tak ada biaya. (Oriza Vilosa/JIBI/SOLOPOS)

BOYOLALI--Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Boyolali menyebut Kecamatan Ampel dan Kecamatan Juwangi sebagai daerah rawan putus sekolah.

Advertisement

Kondisi itu disebut-sebut dilatarbelakangi permasalahan ekonomi. Hal itu sebagaimana diungkapkan Kepala Disdikpora Boyolali, Sutojoyo. Permasalahan itu disebutnya merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam momen peringatan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh hari ini, Kamis (2/5/2013).

“Daerah rawa putus sekolah ada dua kecamatan, yakni Juwangi dan Ampel di bagian agak naik,” kata Sutojoyo saat dihubungi Solopos.com, Rabu (1/5/2013).

Dia belum menyebut berapa angka putus sekolah di daerah tersebut. Namun dari beberapa kajian, Sutojoyo memastikan kondisi itu disebabkan faktor ekonomi warga.

Advertisement

“Kami pantau kasus itu dari berapa banyak yang ikut kejar paket. Tak banyak, sebagaimana kejar paket C ada 18 orang yang lima di antarnya tak masuk hadir saat ujian nasional tanpa keterangan. Yang tak terjaring [kejar paket]? Tetap kami upayakan, tapi berapa ya kami tak hafal,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik Boyolali, Sri Ariyanto menjelaskan tak banyak terjadi perubahan data mengenai tingkat pendidikan warga Boyolali. Seperti yang disampaikannya kepada Espos, akhir 2012 lalu, 30 persen warga Boyolali merupakan lulusan SD.

“Masih sama, 30 persen,” ujarnya lewat pesan singkat yang diterima Solopos.com, Rabu.

Advertisement

Dari sejumlah temuan Solopos.com, terdapat sejumlah lulusan SD yang tak melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya lantaran terkendala biaya. Hal itu sebagaimana ditemui di Repaking, Kecamatan Wonosegoro. Ironisnya, sejumlah anak di sana harus bekerja membantu orang tua untuk memenuhi kebutuhan pokok, makan.

“Tak ada biaya. Saya lulus SD, adik saya masih SD. Tapi saya tak melanjutkan sekolah, tak ada biaya,” ungkap salah satu anak dari Desa Repaking, Dewi Andriyani kepada Solopos.com.

Dia dan dua adik perempuannya bekerja mencari lidi untuk dijual ibunya di pasar dalam bentuk sapu. Selain itu, mereka menyempatkan waktu meminta uang kepada pelintas jalan dengan alasan sebagai tambahan biaya untuk mencukupi kebutuhan membeli beras.

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Boyolali, Bramastia menilai pemerintah kurang turun ke lapangan untuk menemukan kasus semacam itu. “Ini menjadi bukti, pemerintah kurang melihat kondisi riil. Secara normatif, Pemda Boyolali wajib mencari solusi dan masalah daerah rawan putus sekolah mestinya menjadi program prioritas,” tukasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif