Soloraya
Minggu, 17 Desember 2023 - 13:31 WIB

3 Pakar Sejarah dan Difabel Bicara Inklusivitas di Museum Sangiran Sragen

Tri Rahayu  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tiga pakar berbicara inklusivitas museum di Museum Sangiran, Krikilan, Kalijambe, Sragen, Sabtu (15/12/2023) (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN—Museum Sangiran yang terdiri atas lima klaster di Kawasan Situs Manusia Purba Sangiran wilayah Kabupaten Sragen dan Karanganyar sebagai World Heritage Sangiran berusia 27 tahun pada 7 Desember 2023 lalu.

Berbagai acara digelar dalam momentum itu, salah satunya talkshow bertajuk Mewujudkan Musuem Inklusif dan Mudah Diakses dihelat di Museum Sangiran, Kalijambe, Sragen, Sabtu (16/12/2023)

Advertisement

Sesuai dengan tema talk show yang dipandu host Wijil Rachmadani, Museum Sangiran di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Sragen, sudah menjadi museum inklusif karena akses untuk kaum difabel sudah tersedia.

Bahkan para penyandang disabilitas netra bisa merasakan sensasi pengalaman meraba artefak fosil manusia purba sehingga bisa memiliki gambaran bentuk fosil berumur jutaan tahun silam di museum tersebut.

Advertisement

Bahkan para penyandang disabilitas netra bisa merasakan sensasi pengalaman meraba artefak fosil manusia purba sehingga bisa memiliki gambaran bentuk fosil berumur jutaan tahun silam di museum tersebut.

Dalam kesempatan itu, Manajemen Museum Manusia Purba Sangiran menghadirkan tiga orang narasumber, yakni Subkoordinator Museum Prasejarah, Museum dan Cagar Budaya (MCB), Iskandar M. Siregar; Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Monika Nur Lastiyani; dan Ketua Panitia Pekan Budaya Difabel DIY 2023 yang juga seniman Yogyakarta, Broto Wijayanto. Dalam rangkaian talk show itu, ada tiga tampilan kesenian tradisional yakni Gejuk Lesung khas Sangiran, Tari Purba dari Klaster Dayu Karanganyar, dan grup band asal Kota Sragen Lights ON.

“Saya pikir semua museum sudah bisa diakses kaum difabel, termasuk di Museum Sangiran. Bahkan sampai ke lantai III sekalipun. Caranya sederhana, teman-teman yang mengangkat kursi rodanya. Jadi bicara inklusi di museum itu bukan sekadar infrastrukturnya, tetapi bagaimana orangnya yang melayani orang difabel itu lebih penting,” ujar Broto Wijayanto dalam talk show di pelataran Museum Klaster Krikilan Sangiran, Sabtu (16/12/2023) siang.

Advertisement

Broto mengapresiasi Museum Sangiran yang memberi akses kaum difabel untuk meraba atau menyentuh fosil tertentu yang dimiliki. Kalau semua barang milik Museum Sangiran dituntut untuk inklusi semua, Broto berpendapat Museum Sangiran akan membutuhkan biaya yang besar.

“Kalau ditanya apa semua museum di Indonesia sudah bisa diakses difabel? Saya jawabnya sudah. Kata ‘sudah’ itu supaya bisa diwujudkan karena ‘sudah’ itu simbol optimisme. Inklusivitas itu tidak melulu bicara difabel tetapi juga dapat diakses oleh anak-anak dan orang tua lanjut usia. Inklusivitas itu keberagaman yang bisa diakses banyak hal,” jelas Broto.

Ketika semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk difasilitasi pemerintah, Broto menyampaikan maka hal itu dapat mewujudkan kenyamanan bagi difabel.

Advertisement

Dia menerangkan difabel itu akan merasa nyaman ketika mendapat kesempatan yang sama dengan mereka yang normal, misalnya difasilitasi dalam hal kesenian, festival difabel, dan kegiatan lain yang bisa dilakukan orang nondisabilitas.

“Bahkan, saya berani jemput bola dengan mengajak difabel untuk ikut difasilitasi bersama. Mereka akan percaya diri ketika dianggap sama dengan mereka normal. Kalau mereka tidak dijemput bola, ya mereka akan hidup dalam minoritas,” jelas dia.

Dia berpendapat inklusivitas itu bicara tentang mind set dan sumber daya manusia (SDM) yang diubah, yakni bagaimana menyadarkan masyarakat agar memberi ruang yang sama kepada kaum difabel.

Advertisement

Dia mengatakan keberanian difabel seperti Putri Ariani yang bisa bernyanyi di dunia internasional menjadi contohnya. Difabel seperti Putri Ariani di Jogja itu banyak.

Subkoordinator Museum Prasejarah (MCB), Iskandar M. Siregar, mengatakan Museum Sangiran ini diawali pada 2,4 juta tahun silam, bahwa kawasan Sangiran masih lautan dalam, kemudian menjadi rawa-rawa dan akhirnya menjadi daratan. Saat itu homo erectus ditemukan, bahkan 50% temuan fosil homor erectur ada di Sangiran. “Atas dasar itulah, Sangiran ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage pada 1996 lalu. Sangiran ini memiliki lima museum, yakni Klaster Krikilan, Bukuran, Ngebung, Manyarejo, dan Dayu,” kata dia.

Iskandar menjelaskan Museum Bukuran itu sekitar 4 km dari Krikilan merupakan museum evolusi manusia. Kemudian Museum Ngebung itu, ujarnya, kali pertama ditemukan alat serpih milik manusia purba. Berbeda dengan Museum Dayu di Karanganyar yang menyuguhkan lorong waktu karena ada tampilan lapisan tanah dari yang tua sampai muda. Kemudian ada satu Museum Lapangan di Manyarejo, Plupuh.

Iskandar menyampaikan MCB berusaha melayani bagi kaum difabel, seperti sudah ada jalur kursi roda, bahkan kursi roda sudah disiapkan. Dia juga memberi akses kemudahan terutama difabel netra untuk menyentuh fosil. Ada juga fasilitas, ujar dia, audio bagi kaum difabel lainnya. “Secara virtual, kami juga sudah menyediakan kunjungan secara virtual. Kami berharap lebih banyak pengunjungnya,” ujarnya.

Kepala DPAD DIY Monika Nur Lastiyani menjelaskan upaya Pemerintah DIY untuk memfasilitasi semua kalangan dengan ramah lewat pembangunan diorama. Dia mengatakan museum dirorama itu memberi ruang publik untuk menikmati sejarah, perjalanan waktu, dari tahun ke tahun berbasis arsip.

“Apa yang kami tampilkan itu pegangannya arsip dulu untuk ditata dan dirangkai sehingga mewujudkan alur cerita yang diformat dengan diorama. Pada diorama itu bicara Jogja mulai 430 tahun lalu. Diorama itu hanya kami buat dalam 10 bulan dan dapat diakses kaum difabel,” jelas dia.

Dia mengatakan askses disabilitas itu seperti lift, kursi roda, kruk, dan seterusnya. Diorama itu seperti ruang pamer arisp yang dikemas kekinian sehingga menarik untuk anak-anak muda.

Dia mengungkapkan teknologi masuk dalam diorama itu. “Anak-anak muda bisa swafoto, bikin konten, senang. 80% pengunjungnya anak-anak muda,” katanya.

Advertisement
Kata Kunci : Museum Sangiran Sangiran
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif