Soloraya
Sabtu, 2 Maret 2013 - 13:02 WIB

43 RS di Soloraya Belum Terakreditasi JCI

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

SOLO — Dari 45 rumah sakit di Soloraya yang bekerja sama dengan Akademi Perekam Medik dan Informasi Kesehatan (Apikes) Citra Medika Solo, baru dua rumah sakit (RS) di antaranya yang tengah proses akreditasi joint commission international (JCI). Akeditasi tersebut merupakan ketentuan yang diatur oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Persoalan tersebut disampaikan Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan Apikes Citra Medika Solo, Ratini Setyowati, saat ditemui Solopos.com, Sabtu (2/3/2013), di sela-sela Seminar Nasional bertajuk Peningkatan Kompetensi Perekam Medis dalam Menyongsong Akreditasi Joint Commission Internasional (JCI) di Grha Wisata Niaga, Solo.

Advertisement

“Kami bekerja sama dengan 45 rumah sakit di Soloraya. Dari puluhan rumah sakit itu, yang saya tahu baru RSUD Dr Moewardi dan RSJD Solo yang sudah proses penilaian akreditasi JCI,” ujar Ratini.

Menurut dia, seminar rutin tahunan kali juga mengambil tema tentang akreditasi tersebut dengan jumlah peserta mencapai 1.200 orang dari berbagai daerah di Indonesia. Dia mengatakan seminar ini menjadi sarana mendapatkan sertifikat untuk satuan kredit partisipasi (SKP).

“Biasanya sertifikat seminar ini bisa menunjang untuk kenaikan pangkat. Dalam profesi perekam medik ada semacam target untuk mendapatkan SKP, yakni minimal 25 SKP,” imbuhnya.

Advertisement

Seminar kali ini menghadirkan tiga narasumber, yakni dr Reno Indradi selaku Konsultan Manajemen Informasi Kesehatan, Ketua Umum DPP Perhimpunan Profesional Perekam Medik Indonesia (Pormiki) Elise Garmelia dan Perekam Medik RSUP Dr Karyadi Semarang Sugiharto.

Dr Reno menyampaikan berbagai persoalan berkaitan dengan mutu reka medik dan informasi kesehatan dalam implementasi akreditasi JCI. Menurut dia, profesi perekam medik selalu berkaitan dengan empat hal, yakni kesehatan, manajemen, hukum dan teknologi informasi dan komunikasi.

Dia memberi contoh beberapa kasus perekeman medik yang kurang baik kualitasnya, seperti pencatatan yang tidak akurat dan konsisten, penyimpanan yang menyulitkan dan seterusnya.

Advertisement

“Ini saya beri contoh sebuah gambar dokumen rekam medik asli. Di dokumen itu menyebutkan nomor yang tidak akurat dan tidak sama. Selain penomoran, penggunaan nama pun berubah-ubah. Awalnya Poniyem, di dokumen lain ditulis Poinem dan terakhir bernama Ponikem. Padahal dokumen itu milik satu orang pasien. Kalau enggak ada apa-apa, tak masalah. Tapi kalau ada apa-apa kan jadi masalah,” jelas Reno.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif