SOLOPOS.COM - Kepala Bidang Pemberdayaan dan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKB P3A) Wonogiri, Indah Kuswati. (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Sebanyak 44 anak di Kabupaten Wonogiri menjadi korban kekerasan sepanjang 2023. Dari jumlah itu, kekerasan seksual paling mendominasi dengan mayoritas korban anak perempuan.

Hal ini menandakan perempuan masih sangat rentan menjadi objek tindak kekerasan. Kepala Bidang Pemberdayaan dan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKB P3A), Indah Kuswati, mengatakan ada 29 kasus kekerasan terhadap anak yang terlaporkan pada 2023.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Sebanyak 25 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual dengan dua kasus di antaranya tidak sampai diproses secara hukum di kepolisian. Selanjutnya tiga kasus kekerasan lainnya merupakan kekerasan psikis dalam bentuk perundungan dan satu kasus lainnya yakni penelantaran anak.

Indah menyebutkan jumlah kasus kekerasan pada anak di Wonogiri pada 2023 itu lebih banyak dibandingkan pada 2022 yang tercatat ada 20 kasus. Pada 2022, kasus kekerasan seksual ada 18 kasus dan dua kasus lainnya berupa kekerasan psikis. Kekerasan seksual masih menjadi yang paling dominan di antara bentuk kekerasan lain.

Dia menyampaikan jumlah total korban kekerasan pada 2023 sebanyak 44 anak dengan 39 anak di antaranya menjadi korban kekerasan seksual.

Dari sisi gender, di antaranya 39 anak korban kekerasan seksual itu, dua di antaranya laki-laki. Kemudian tiga anak laki-laki lainnya menjadi korban perundungan dan satu anak laki-laki menjadi korban penelantaran orang tua. Korban kekerasan berjenis kelamin perempuan jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Menurut dia, banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan itu mengindikasikan perempuan masih sangat rentan menjadi objek kekerasan. Hal itu bisa terjadi karena perempuan dianggap pelaku sebagai orang yang lemah dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.

Pelaku Orang Dekat Korban

Di sisi lain, Indah menuturkan semua pelaku kekerasan pada anak di Wonogiri merupakan orang dekat korban seperti orang tua, pacar, guru, dan tetangga. Semua pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki.

Hal itu juga membuktikan ada ketimpangan relasi kuasa dalam kasus tersebut. Ironisnya, sebagian besar kasus kekerasan seksual pada 2023 terjadi di sekolah, salah satunya kasus 12 siswi MI menjadi korban kekerasan seksual kepala sekolah dan satu guru.

“Yang memprihatinkan, ada delapan pendidik atau guru yang menjadi pelaku kekerasan seksual kepada muridnya pada 2023. Selain itu, empat ayah tiri juga menjadi pelaku kekerasan seksual. Beberapa korban di antaranya sampai hamil,” kata Indah saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (17/1/2024).

Indah menjelaskan dari 29 kasus kekerasan terhadap anak di Wonogiri, hanya kasus kekerasan seksual yang diproses secara hukum di kepolisian. Itu pun ada dua dari 25 kasus kekerasan seksual anak yang tidak sampai bisa diselesaikan melalui jalur hukum.

Hal itu terjadi karena permintaan orang tua korban. Padahal, menurutnya, Pemkab Wonogiri sudah mendorong dan siap mendampingi mereka untuk memproses kasus itu sampai di pengadilan.

“Dua kasus kekerasan seksual tidak diselesaikan melalui jalur hukum atas permintaan orang tua. Penyebabnya, ada orang tua yang sudah telanjur bikin perjanjian dengan pelaku untuk tidak melaporkan ke polisi. Ada juga karena memang enggan melaporkan. Mereka menilai hal itu akan membuat ribet,” ujar dia.

Dia melanjutkan keluarga korban yang enggan melaporkan kekerasan seksual pada anak mereka ke polisi itu menjadi salah satu kendala dalam penanganan kekerasan di Wonogiri. Hal itu bisa membuat pelaku tidak jera dan di sisi lain korban juga merasa tidak aman.

Alasan Tidak Tempuh Jalur Hukum

Indah menyampaikan kebanyakan anak korban kekerasan berasal dari keluarga dengan ekonomi kelas menengah ke bawah. Hal ini juga yang kerap menjadi alasan keluarga korban enggan melaporkan kasus ke polisi. Sebab mereka berpikir hal itu akan membuat mereka harus mengeluarkan banyak uang.

Pendamping Anak Dinas PPKB P3A Wonogiri, Ririn Riyadiningsih, menyampaikan lingkungan masyarakat juga berpengaruh dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. Masih banyak masyarakat yang menganggap kasus kekerasan baik seksual maupun psikis bukan persoalan besar.

Ketika di lingkungan itu ditemukan kasus, alih-alih mendukung agar kasus itu dilaporkan kepada aparat penegak hukum, mereka justru mendorong kasus itu diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

”Hanya beberapa persen masyarakat yang sadar dan mengerti kasus begini. Yang lainnya menganggap ini tidak penting karena ini bukan persoalan primer. Kondisi ini tidak lepas dari kondisi ekonomi masyarakat yang masih kelas menengah ke bawah,” jelas Ririn.

Dia mengatakan dinas terkait sudah sering menyosialisasikan ihwal perlindungan anak-anak baik di sekolah-sekolah maupun ke warga desa. Namun, masih banyak warga desa yang menganggap sepele hal tersebut. Padahal ketika ada kasus kekerasan terhadap anak, dampak yang dirasakan anak itu jadi lebih berat.

Mereka menjadi stres pascatrauma. Belum lagi mereka mendapatkan stereotip dari lingkungan sekitar. Akibatnya, anak menjadi takut dan merasa tidak bebas. Menurutnya, meski Pemkab Wonogiri menyediakan konseling dan pemulihan psikologis korban, peran lingkungan juga sangat memengaruhi kondisi korban.

”Masyarakat juga harus berperan untuk mencegah kekerasan-kekerasan terhadap anak ini terjadi di masa depan. Ini bukan persoalan sepele karena menyangkut masa depan anak,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya