Soloraya
Jumat, 23 September 2011 - 07:30 WIB

85% Laboratorium lingkungan tak berfungsi

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok.SOLOPOS), UJI BANDING KUALITAS UDARA: Gabungan petugas dari Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Jogja, Semarang dan Kalimantan Timur melakukan penggantian cairan untuk melanjutkan pengukuran kualitas udara yang menganalisa kandungan unsur sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) di Titik Nol Kilometer, Jogja, Rabu (14/7). Tujuan uji banding itu hasilnya untuk menguji keakuratan laboratorium masing-masing yang berada di Jogja, Semarang dan Kalimantan Timur. (HARIANJOGJA/GIGIH M. HANAFI)

Ilustrasi (Dok.SOLOPOS), UJI BANDING KUALITAS UDARA: Gabungan petugas dari Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Jogja, Semarang dan Kalimantan Timur melakukan penggantian cairan untuk melanjutkan pengukuran kualitas udara yang menganalisa kandungan unsur sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) di Titik Nol Kilometer, Jogja, Rabu (14/7). Tujuan uji banding itu hasilnya untuk menguji keakuratan laboratorium masing-masing yang berada di Jogja, Semarang dan Kalimantan Timur. (HARIANJOGJA/GIGIH M. HANAFI)

Solo (Solopos.com)–Dari 490 laboratorium lingkungan yang tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia, baru 73 laboratorium atau sekitar 15 persen yang dinilai sudah berfungsi efektif.

Advertisement

Hal itu diungkapkan Deputi VII Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Henry Bastaman, ketika ditemui wartawan di sela-sela Rapat Kerja (Raker) Teknis Peningkatan Kapasitas Laboratorium Daerah Se-Jawa, di Solo Paragon, Kamis (22/9/2011).

Henry mengakui belum efektifnya fungsi laboratorium lingkungan di beberapa daerah itu sering kali berakibat pada tidak tertanganinya kasus-kasus pencemaran yang disebabkan oleh limbah pabrik.

Padahal keberadaan laboratorium lingkungan tersebut untuk mengontrol tingkat pencemaran dapat diakibatkan limbah pabrik/perusahaan, maupun kerusakan lingkungan akibat perilaku manusia.

Advertisement

”Karena laboratoriumnya tidak berfungsi efektif, tentunya pemerintah daerah (Pemda) akan kesulitan untuk menentukan apakah benar pencemaran itu disebabkan oleh limbah pabrik, atau seberapa besar perilaku manusia dapat merusak lingkungan. Seringnya kasus pencemaran akibat limbah pabrik di suatu daerah menguap begitu saja lantaran Pemda tidak bisa membuktikan apakah benar pencemaran itu disebabkan limbah perusahaan itu,” ujar Henry.

Padahal menurut Henry, keberadaan laboratorium itu untuk mengetahui kondisi kualitas lingkungan di daerah. Menyikapi persoalan itu, Henry menilai sudah seharusnya Pemda memiliki kepedulian, khususnya untuk menyediakan anggaran guna membiayai operasional laboratorium yang ada di wilayahnya.

”Sayangnya, dengan alasan keterbatasan anggaran, kebanyakan Pemda belum bersedia mengalokasikan dana untuk laboratorium yang ada,” jelasnya.

Advertisement

Kendala lainnya, Henry mengakui dari sisi sumber daya manusia (SDM), selama ini belum mampu membiayai tenaga ahli di bidang lingkungan hidup.

Meskipun selama ini sudah ada Dana Alokasi Khusus (DAK) dari APBN untuk mendukung keberadaan laboratorium, Henry mengakui hanya sebatas untuk biaya peralatan laboratorium.

”Yang terjadi justru saat ini sudah ada laboratorium lengkap dengan peralatannya, tetapi tidak dioperasionalkan karena tak ada dananya,” jelasnya.

(sry)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif