Soloraya
Selasa, 8 Desember 2015 - 17:42 WIB

ADHA DI SOLO : Penghuni Pondok Boro Minapadi Tolak Rumah Singgah

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Poster dan barikade terpasang pada jalan masuk rumah milik aktivis peduli HIV/AIDS, Puger Mulyanto, di Jl. Senopati, Kedung Lumbu, Pasar Kliwon, Solo, Minggu (6/12). Warga memasang poster dan barikade tersebut sebagai wujud penolakan rencana penggunaan rumah milik, Puger Mulyanto, untuk menampung 9 anak pengidap HIV/AIDS. (Ivanovic Aldino/JIBI/Solopos)

ADHA di Solo, warga di Pondok Boro Minapadi keberatan pondok boro jadi penampungan sementara anak dengan HIV/AIDS (ADHA).

Solopos.com, SOLO–Sejumlah warga yang tinggal di Pondok Boro Minapadi keberatan rumahnya dijadikan tempat penampungan sementara anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA) asuhan Rumah Singgah Lentera.

Advertisement

Salah seorang penghuni lantai II Pondok Boro Minapadi, Wahyu, 29, mengatakan tidak siap bertetangga dengan ADHA. “Saya lagi hamil. Anak pertama juga masih kecil. Waswas juga kalau harus bertetangga dengan mereka [ADHA],” katanya saat ditemui Solopos.com, Selasa (8/12/2015) siang.

Wahyu menuturkan salah satu keberatannya ADHA tinggal di Pondok Boro Minapadi karena saat ini penghuni harus berbagi kamar mandi. Disinggung soal penularan HIV/AIDS tidak menular melalui kontak sosial, warga asal Boyolali yang sudah setahun tinggal di tempat tinggal gratis milik pemerintah itu mengaku sudah tahu.

Advertisement

Wahyu menuturkan salah satu keberatannya ADHA tinggal di Pondok Boro Minapadi karena saat ini penghuni harus berbagi kamar mandi. Disinggung soal penularan HIV/AIDS tidak menular melalui kontak sosial, warga asal Boyolali yang sudah setahun tinggal di tempat tinggal gratis milik pemerintah itu mengaku sudah tahu.

“Kalau penyuluhan penularan HIV/AIDS, saya juga sudah pernah ikut. Cara penularannya pun sudah juga sudah dijelaskan. Tapi kalau bertetangga dan berbagi kamar mandi, saya tidak siap. Kalau mereka masuk sini, lebih baik kami sekeluarga pindah,” tuturnya.

Penghuni lain yang ditemui di lantai I Pondok Boro, Sutarto, 53, juga keberatan ADHA asuhan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang telah mendapatkan penolakan warga di kawasan lain tersebut tinggal di lingkungannya. “Wah, ya jangan pindah ke sini. Di sini banyak anak-anak,” ujarnya.

Advertisement

Menurut Sutarto, saat ini masih ada belasan dari 32 kamar kosong di Pondok Boro Minapadi. “Yang kosong masih banyak. Yang ajeg isi paling 16 kamar. Tapi kasihan kalau anak-anak sakit ditaruh di sini. Mereka harusnya dibuatkan tempat tinggal yang layak. Paling tidak rusun yang ada kamar mandinya sendiri,” sarannya.

Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Solo, Sumartono Kardjo, menampik pemerintah selama ini abai pada ODHA/ADHA. “2014 lalu kami memfasilitasi proposal hibah ke Kemensos. Waktu itu Rumah Singgah Lentera mendapatkan sekitar Rp500 jutaan. 2015, kami juga fasilitasi proposal lagi. Tapi ada ganjalan dana hibah,” katanya saat ditemui, Senin (7/12/2015).

Sumartono menyebutkan salah satu solusi riil yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah pembangunan selter sosial. “Saya sudah usulkan sejak dua tahun yang lalu. Sampai sekarang belum disetujui. Selter ini ideal bagi penampungan PGOT dan ADHA maupun ODHA. Tempat tinggal mereka harus dipikirkan karena setiap tahun pasti semakin banyak,” katanya.

Advertisement

Menurut Sumartono, masyarakat selama ini enggan menerima keberadaan ODHA maupun ADHA lantaran stigma buruk melekat pada lingkungannya. “Saya kira arahnya mereka takut lingkungannya dicap jelek. Kalau anak-anak, logikanya mana bisa menularkan. Penularan penyakit berat pasti tidak segampang itu,” terangnya.

Sumartono kembali menyampaikan komitmennya siap menampung ADHA asuhan Rumah Singgah Lentera di ruang pertemuan kantor Dinsosnakertrans. “Di belakang itu ada ruang pertemuan yang bisa dimanfaatkan. Ada AC, TV, tapi belum ada kasur dan pendamping. Silakan kalau mau dimanfaatkan sampai akhir tahun nanti,” ujarnya.

Ketua Komisi IV DPRD Solo, Hartanti, menyebutkan Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan KB), Dinas Kesehatan Kota (DKK), Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), serta Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) harus segera duduk bersama membahas persoalan tersebut.

Advertisement

“Pemkot jangan lepas tangan. Bapermas PP PA dan KB, Dinsosnakertrans, DKK, dan KPA harus berkoordinasi menangani hal ini. Mereka itu harus mendapatkan pengawasan dari dinas terkait dan dipantau untuk mendapatkan pendampingan yang layak. ADHA tanggung jawab negara,” katanya.

Melihat kasus diskriminasi yang diterima ADHA asuhan Rumah Singgah Lentera, Hartanti menyoroti pemanfaatan 5% anggaran Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) salah satunya untuk kegiatan sosialisasi WPA di wilayahnya masing-masing.
“Penggunaan 5% DPK bagi WPA itu seperti apa. Kalau perlu, ada SE dari Wali Kota. 2016 nanti, DKP sosialisasi HIV/AIDS harus benar-benar sampai bawah,” pesannya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif