Soloraya
Kamis, 24 Agustus 2023 - 19:45 WIB

Agustus Puncak El Nino di Sragen, Ketersediaan Pangan Masih Aman

Tri Rahayu  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Seorang petani memeriksa mesin pompa airnya yang berbahan bakar elpiji 3 kg saat mengairi sawah di areal persawahan Ngablak, Kelurahan Sine, Kecamatan Sragen Kota, Sragen, Minggu (6/8/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu).

Solopos.com, SRAGEN — Musim kemarau sebagai dampak El Nino di Indonesia, khsusunya di Sragen, akan mencapai puncaknya pada Agustus 2023 ini dan berlangsung hingga Oktober 2023. Kondisi ini mengakibatkan krisis air bersih di enam kecamatan di Srgaen tetapi tidak berdampak pada ketahanan pangan di Bumi Sukowati.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sragen, R. Triyono Putro, Kamis (24/8/2023), mengungkapkan panas yang begitu panjang ini akibat kurangnya curah hujan sebagai dampak dari El Nino. Kondisi tersebut, jelas Triyono, mengakibatkan sejumlah wilayah di enam kecamatan mengalami kekurangan air bersih, yakni Jenar, Tangen, Gesi, Mondokan, Sumberlawang, dan Miri.

Advertisement

Sejumlah waduk di Sragen, kata dia, mengering menyisakan Waduk Ketro di Tanon dan Waduk Kembangan di Karangmalang yang masih ada airnya tapi sangat minim. Sementara waduk yang mengering  di antaranya Waduk Botok, Waduk Brambang, Waduk Geyar, Waduk Blimbing, dan Waduk Gembong.

“Tahun lalu tidak terjadi El Nino. Dari perkairaan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [BMKG], El Nino di Sragen ini akan mencapai puncaknya pada Agustus 2023 dan berangsur-angsur menurun sampai Oktober 2023. Bagi sejumlah daerah yang mengalami krisis air bersih selalu mendapat bantuan secara berkala dari BPBD,” jelasnya saat dihubungi Solopos.com.

Advertisement

“Tahun lalu tidak terjadi El Nino. Dari perkairaan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [BMKG], El Nino di Sragen ini akan mencapai puncaknya pada Agustus 2023 dan berangsur-angsur menurun sampai Oktober 2023. Bagi sejumlah daerah yang mengalami krisis air bersih selalu mendapat bantuan secara berkala dari BPBD,” jelasnya saat dihubungi Solopos.com.

Terpisah, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Sragen, Eka Rini Mumpuni Titi Lestari, menerangkan fenomena El Nino di Sragen tidak berdampak pada ketersediaan bahan pangan, khususnya beras. Bahan pangan pokok di Sragen masih aman karena pada panen musim tanam (MT) II baru selesai awal Agustus 2023 dan sekarang memasuki MT III yang dimulai Juni-September. Dia memprediksi pada pekan kedua Oktober besok sudah mulai panen MT III.

“Luas tanam di MT III ini memang turun drastis bila dibandingkan MT II. Pada MT III ini luas tanam hanya 25.374 hektare dengan hasil panen diprediksi mencapai 172.543 ton GKP [gabah kering panen]. Sedangkan luas tanam pada MT II lalu mencapai 40.577 hektare dengan produksi padi hampir dua kali lipat dari proyeksi MT III ini,” jelas Eka

Advertisement

Ancaman Puso

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno, mengatakan kekurangan air menjadi masalah bagi petani saat musim kemarau tiba. Ketika kebutuhan air menurun, terutama saat musim berbuah, kata dia, maka berdampak pada turunnya produktivitas dan risikonya bisa gagal panen.

“Hari-hari ini kebutuhan air mulai turun 10% padahal masih masa pemupukan kedua. Kami berharap saat musim berbuah air bisa bisa mencukupi, kalau tidak jelas terancam puso. Petani sudah terbiasa dengan spekulasi saat musim kemarau tetapi tidak banyak petani yang tanam, kecuali petani yang memiliki sumur dalam,” ujarnya.

Dia menerangkan bagi warga di selatan Bengawan Solo masih memungkinkan menanam meskipun dengan sumur dalam atau menyedot dari sungai-sungai. Di utara Bengawan Solo, jelas dia, juga memanfaatkan air yang ada, termasuk air dari Bengawan Solo yang tercemar limbah itu untuk pengairan padi.

Advertisement

“Meskipun tercemar limbah, kenyataannya warga utara Bengawan Solo masih ada yang menyedot dari Bengawan Solo. Kebutuhan irigasi ini berdampak pada biaya produksi yang naik sampai Rp2,5 juta per hektare. Belum lagi persoalan pupuk. Ketika pemupukan tapi tidak ada air maka pupuk tidak terserap ke tanah tetapi menguap ke udara. Pemupukan yang bisanya dua kali maka bisa sampai 3-4 sekali,” ujarnya.

Untungnya,  biaya produksi tinggi sejalan dengan harga jual padi nya juga relatif tinggi karena tidak banyak yang tanam padi sehingga stok terbatas. Dengan harga tinggi itu, ujar dia, masih memungkinkan menutup biaya pengairan dan pemupukan. “Pada MT III nanti, produksi padinya diperkirakan 6,1-6,2 ton per hektare,” jelasnya.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif