SOLOPOS.COM - Ekskavator mengeruk sedimen Kali Pepe, Rabu (22/10/2014). (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO—Ahli Lingkungan UNS Solo, Prabang Setyono, melihat ada tiga penyebab utama banjir cukup besar yang melanda Solo pada Kamis-Sabtu (16-18/2/2023).

Dia menilai salah satu penyebab banjir di Solo saat itu adalah dibukanya pintu air Waduk Gajah Mungkur (WGM). Pembukaan pintu air waduk membuat debit air di sungai melimpah kemudian meluap.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Kondisi tersebut terjadi juga karena sedimen Bengawan Solo anak anak-anak sungainya. “Karena tampungannya Bengawan Solo itu karena sedimentasinya sudah tergolong berat. Sehingga tak bisa menampung kemudian meluap,” ujar dia saat dihubungi Solopos.com, Jumat (24/2/2023).

Banjir saat itu, menurut Prabang, juga dipicu jeleknya resapan air di Solo. Sehingga air hujan yang begitu deras dengan intensitas lama, semua masuk ke saluran drainase. Meskipun sudah dilebarkan, saluran drainase Solo tak cukup menampung semua air itu.

“Karena semuanya dilimpahkan ke situ, dari rumah, dari jalan, ya jelas meluap juga. Ketika drainase ini mau dibuang, yang ujungnya ke anak-anak sungai, lalu Bengawan Solo, ada arus balik kan. Terjadi arus balik, dan terjadi tabrakan arusnya ini,” urai dia.

Dengan kondisi seperti itu, Prabang menjelaskan wilayah-wilayah dengan elevasi rendah di Solo dipastikan terkena luapan air tersebut. Dia mencontohkan wilayah Kelurahan Sangkrah, Kelurahan Sewu, Kelurahan Gandekan, dan Kelurahan Pucangsawit.

Prabang juga melihat adanya peran dari kondisi daerah hulu anak-anak Bengawan Solo terhadap terjadinya banjir besa di Solo. “Ada inputan dari wilayah Boyolali sebagai hulu sungainya. Terjadi lah tiga lokasi reuni air di wilayah Solo,” ungkap dia.

Prabang menyimpulkan bencana banjir di Solo disebabkan kondisi lingkungan yang perlu diperbaharui. Salah satunya kondisi sedimentasi atau endapan di Bengawan Solo serta anak-anak sungainya yang dia nilai sudah terlampau besar.

“Berarti ada yang salah. Sungainya, kesalahannya sedimentasinya sudah terlalu besar. Kan Solo ini topografi Solo dilihat dari spasial atas, Solo itu cekungan. Jadi ketika terjadi transitori sedimentasi atau endapan besar di wilayah Solo, ya wajar,” tutur dia.

Prabang menjelaskan keberadaan sedimentasi atau endapan itu membuat daya tampung sungai tidak lagi optimal. Dia mengibaratkan Bengawan Solo dan anak-anak sungainya sebuah wadah berkapasitas 1.000 ml dengan sedimentasi 300 ml.

Sedimentasi yang parah, menurut dia, karena terjadi alih fungsi lahan di hulu sungai. Bila air di hulu sungai ditangkap perakaran pohon hutan, maka sedimentasinya natural dan dalam batas dukung dan daya tampung. Sehingga endapan terbuang ke muara.

“Kalau sedemintasi di atas batas normal, wajar kalau tertransit ke daerah cekungan, dalam hal ini Solo. Kalau mau dikeruk, besar banget itu. Kayak wadah gelas, 1.000 ml, sedimentasi 300 ml, kan tinggal 700 ml saja kapasitas tampungnya,” papar dia.

Prabang mengingatkan, bila persoalan sedimentasi Bengawan Solo dan anak-anak sungainya tidak segera dikeruk, banjir akan terus terulang di Solo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya