SOLOPOS.COM - AMBIL AIR -- Sejumlah warga mengumpulkan air dari sumber yang terletak di dalam gua di jurang sedalam 50 meter di Musuk, Boyolali. (JIBI/SOLOPOS/Farida Trisnaningtyas)

Boyolali (Solopos.com) – Warga di sejumlah dukuh di Desa Lanjaran, Kecamatan Musuk mulai mengalami krisis air bersih. Alhasil, mereka rela naik turun jurang sedalam 50 meter untuk mendapatkan air bersih dari mata air di sebuah gua yang dulu digunakan militer Jepang saat Perang Dunia II.

AMBIL AIR -- Sejumlah warga mengumpulkan air dari sumber yang terletak di dalam gua di jurang sedalam 50 meter di Musuk, Boyolali. (JIBI/SOLOPOS/Farida Trisnaningtyas)

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Mata air yang berada baik di dalam ataupun di sekitar gua peninggalan Jepang itu menjadi tumpuan bagi warga sekitar. Terutama memasuki musim kemarau ini. Sumber mata air yang berada di jurang ini tak pernah kering meskipun musim kemarau datang. Warga rela mengambil air ke mata air yang berada di celah-celah jurang yang cukup terjal ini. Mereka mengambil air bersih dari Gua Jepang untuk mencukupi kebutuhan utama seperti memasak, minum dan mandi.

Tak mudah untuk mencapai sumber air di jurang yang terletak di sebelah utara Desa Lanjaran ini. Warga harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang cukup terjal. Jarak dari dukuh terdekat ke sumber air ini sekitar satu kilometer. Purwanto, warga Dukuh Lanjaran, Desa Lanjaran, Musuk mengatakan ia terpaksa mengambil air ke Gua Jepang ini karena kekurangan air bersih. “Sumber air ini memang menjadi andalan warga. Kami memang harus berjalan ekstra jauh demi mendapatkan air bersih,” ucapnya kepada wartawan, awal pekan ini.

Purwanto menambahkan warga banyak mengambil air di jurang ini pada pagi hari atau sore hari. Sebab, jarak tempuh dari tempat tinggal ke sumber air lumayan jauh serta terik matahari yang menyengat jika siang hari. Padahal sumber tersebut hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki. Warga menggunakan jeriken kapasitas 30 liter untuk mengambil air dari Gua Jepang ini.

Sebagian warga memanfaatkan sumber ini namun sebagian yang lain menggunakan tandon air hujan yang masih ada. Akan tetapi, bagi warga yang memiliki cukup uang, mereka membeli air dari truk tangki swasta. Satu tangki sekitar 6.000 liter harganya Rp 130.000. Jika tidak, mereka terpaksa mengambil air dari Gua Jepang di dasar jurang. Sebab, air yang biasanya dialirkan dari tuk pedut di Desa Wonodoyo, Kecamatan Cepogo sudah cukup lama mati. Pasalnya, jaringan pipanya rusak akibat diterjang banjir lahar dingin beberapa waktu lalu. “Air dari Pedut, sudah cukup lama mati. Warga pun harus rela ambil ke sini atau membeli dari tangki-tangki itu,” terang Rasto.

rid

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya