SOLOPOS.COM - Ilustrasi pernikahan (Dok/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO—Sepekan lalu, aksi mogok penghulu menjadi pemberitaan hangat beragam media massa. Mereka menolak mencatatkan pernikahan di luar jam kerja dan di luar KUA. Ini terkait dengan pemenjaraan seorang penghulu di KEdia yang didakwa menerima uang terima kasih.

Negara yang direpresentasikan aparatur Kantor Urusan Agama (KUA) dan masyarakat sama-sama berperan menyuburkan pemberian ”uang terima kasih” terkait pencatatan nikah.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Pemenjaraan seorang penghulu di Kediri dengan dakwaan menerima ”uang terima kasih” yang tergolong gratifikasi membikin para penghulu lainnya ketir-ketir.

Sikap para penghulu yang menolak mencatat pernikahan di luar KUA dan di luar jam kerja membuat masyarakat geram.

Pada Kamis (19/12), ketika Solopos.com berada di KUA Kecamatan Banjarsari, Solo, telepon kantor itu nyaris tak berhenti berdering. Akhir-akhir ini para pegawai di kantor itu tiap hari harus sabar menerima sikap dan perlakuan kurang ramah dari masyarakat.

Buntut kasus gratifikasi di KUA di Kediri beberapa waktu lalu membuat aparatur KUA Banjarsari enggan melayani pencatatan nikah di luar Balai KUA. Aparatur KUA itu menunggu payung hukum yang konkret agar mereka tak terjerat kasus gratifikasi.

”Setelah tahu sikap kami, ada warga yang menggebrak-gebrak meja. Hadeehhh…,” kata Fuad, seorang pegawai bagian pendataan KUA Banjarsari saat ditemui Solopos.com di ruang kerjanya, Kamis pekan lalu.

Menurut Fuad, ini bukan persoalan remeh. Menurut catatannya, rata-rata ada seribuan pernikahan tiap tahun di wilayah Kecamatan Banjarsari. Setiap Sabtu dan Minggu jumlah pernikahan meningkat tajam. Sebanyak 95% keluarga mempelai meminta pernikahan dilakukan di luar KUA.

”Kami selalu menyarankan proses ijab kabul pernikahan di balai KUA saja, tapi banyak yang menolak,” kata Fuad. Pasal 21 ayat (2) Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 11/2007 memperbolehkan pencatatan nikah di luar KUA.

Syaratnya, petugas pencatat nikah (PPN) atau penghulu dan kedua mempelai sama-sama sepakat. Namun, ketentuan ini mengundang risiko. Salah satunya, memunculkan budaya memberi sangu atau amplop berisi uang kepada penghulu.

Pemberian amplop itu jamaknya dengan alasan sebagai ganti biaya transportasi atau sebagai tanda terima kasih kepada penghulu. “Kalau ditolak kadang masyarakat malah merasa diremehkan,” kata Nasyith Ahmad, penghulu di KUA Banjarsari yang mengaku biasa menerima amplop seusai menyelesaikan tugasnya mencatat pernikahan di mana pun di wilayah kerjanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya