SOLOPOS.COM - Haryanto, 38, sedang menebarkan pupuk NPK di sawahnya di Jendi, Selogiri, Wonogiri, Selasa (13/12/2022). Pengurangan jenis pupuk subsidi mengakibatkan biaya produksi meningkat. (Solopos.com/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Kebijakan pemerintah mengurangi jenis pupuk bersubsidi dinilai sangat memberatkan petani. Hal itu membuat biaya produksi pertanian membengkak sedangkan pemasukan dari hasil panen tidak ada kenaikan.

Pengurangan jenis pupuk subsidi itu mulai diterapkan sejak pertengahan 2022. Semula, pupuk bersubsidi ada enam jenis, meliputi urea, ZA, SP 36, NPK, pupuk organik granul, dan pupuk organik cair. Sekarang ini hanya ada dua jenis, yaitu NPK dan urea.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Salah satu petani di Jendi, Selogiri, Haryanto, 38, mengatakan pengurangan pupuk bersubsidi itu tidak saja memberatkan petani lantaran biaya produksi menjadi naik, tetapi juga berpotensi menurunkan hasil produksi. Terlebih jika petani tersebut tidak mampu membeli pupuk nonsubsidi.

Pengurangan jenis pupuk itu berdampak buruk pada tanaman padi. Pupuk SP 36 berfungsi agar tanaman dapat berbuah banyak.

Selain itu menambah bobot biji padi dan memperkuat batang tanaman. Jika padi tidak diberikan pupuk tersebut, sudah pasti hasil panen tidak akan maksimal.

Baca Juga: Pemkab Wonogiri Sabet 3 Penghargaan, dari Rebranding Kopi hingga Mi Ayam Instan

Dia menjelaskan, harga pupuk SP 36 bersubsidi berkisar Rp120.000/kemasan. Satu kemasan sebanyak 50 kg. Sedangkan harga pupuk dengan jenis yang sama nonsubsidi mencapai Rp200.000-an lebih per kemasan dengan bobot yang sama.

“Kami terpaksa beli pupuk yang nonsubsidi. Mau bagaimana lagi, kami petani cuma bisa mengeluh. Mau tidak mau, kami harus beli pupuk nonsubsidi,” kata Haryanto saat ditemui Solopos.com di sawahnya, Selasa (13/12/2022).

Dia juga menyayangkan alokasi pupuk bersubsidi tidak sesuai dengan kebutuhan definitif petani. Dia mencontohkan, satu bau atau 0,8 ha tanaman padi, seharusnya membutuhkan minimal 2 kuintal pupuk NPK/tahun. Namun alokasi pupuk bersubsidi hanya 1 kuintal pupuk NPK/tahun.

“Padahal dulu dapat 2 kuintal NPK. Sekarang 1 kuintal saja biasanya tidak penuh. Sudah jenis pupuk dikurangi, jumlahnya pun dikurangi. NPK ini kan sebenarnya lebih banyak fungsinya untuk daun saja,” ucap dia.

Baca Juga: BLT Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau Rp46,8 Juta di Wonogiri Belum Tersalurkan

Pemerintah daerah melalui Dinas Pertanian dan Pangan Wonogiri sudah memberikan pelatihan pembuatan pupuk organik. Tapi, hal itu tidak bisa serta merta digunakan petani sebagai pupuk.

Pasalnya, hasil panen yang menggunakan pupuk organik jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil panen menggunakan pupuk kimia saat masa tanam.

“Satu bau ini, kalau pakai pupuk biasa [kimia] bisa menghasilkan 3 ton gabah. Sedangkan kalau pakai organik, hasil panennya tidak sampai 2 ton. Bisa dapat setengahnya [1,5 ton gabah] pun sudah bagus,” ujar Haryanto.

Dia menjelaskan, modal produksi menggunakan pupuk kimia dalam sekali masa tanam sekitar Rp6 juta. Dengan hasil panen 3 ton dan harga gabah paling tinggi Rp4.000/kg, dia bisa mendapatkan pemasukan Rp12 juta.

Baca Juga: Wonogiri Surplus Beras 164.421 Ton, Pasok hingga Trenggalek dan Tulungagung

Sementara, jika menggunakan pupuk organik, dengan modal produksi tidak berbeda jauh, hanya mendapatkan pemasukan setengahnya.

“Itu kalau saya hitung dengan harga jual gabah Rp4.000/kg [paling tinggi]. Harga biasanya malah lebih rendah dari itu,” kata Haryanto.

Petani lain di Jaten, Selogiri, Rusdiyanto, berpendapat pengurangan jenis pupuk berpotensi menurunkan produktivitas padi. Kebijakan itu kontradiktif dengan keinginan pemerintah menggenjot produksi padi.

“Di satu sisi, kami petani diminta meningkatkan hasil produksi. Di sisi lain pemerintah malah mengurangi jenis pupuk subdisi,” kata Rusdiyanto ketika berbincang dengan Solopos.com di Sekretariat Gapoktan Dasa Tani Jaten, Selasa.

Baca Juga: Kuota Pupuk Subsidi di Kartu Tani Kosong, Petani Wonogiri Wadul ke Bupati

Menurut dia, boleh saja pemerintah hanya menyediakan pupuk subsidi urea dan NPK, tetapi harus sesuai kebutuhan definitif petani. Selama ini, alokasi pupuk subsidi pasti di bawah kebutuhan petani.

“Memang, NPK dan urea ini pupuk paling pokok. Bisa dikatakan paling berpengaruh pada tanaman karena kandungannya lengkap. Tapi saat subsidinya sedikit, kasihan petani,” ucapnya.

Dia menegaskan, pengurangan jenis subsidi ini sangat membebani petani. Para petani pasti berupaya menghasilkan panen yang maksimal.



Termasuk membeli pupuk nonsubsidi. Padahal harga pupuk nonsubsidi mahal dan terus naik.

Baca Juga: Dorong Produktivitas, 127 Unit Alsintan Diserahkan kepada Petani di Wonogiri

Di sisi lain, harga gabah tidak pernah ada kenaikan. Dengan kata lain, biaya produksi semakin naik, namun tidak dibarengi kenaikan pemasukan. Petani pun merasa terhimpit keadaan yang dinilai kurang menguntungkan tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya