SOLOPOS.COM - Persidangan pengeroyokan hingga menyebabkan Alan Suryawan, 28, pemuda asal Wonogiri meninggal dunia di Sungai Bengawan Solo di wilayah Nguter, Sukoharjo. Sidang dilakukan di Pengadilan negeri Sukoharjo, Kamis (1/3/2023). (Solopos.com/Magdalena Naviriana Putri)

Solopos.com, SUKOHARJO — Sintya Krisna Wulandari, 24, warga Wonogiri, mencari keadilan untuk ayahnya, Ishariyanto, yang jadi terdakwa kasus pengeroyokan berujung kematian. Korbannya adalah Alan Suryawan, 28, pemuda asal Wonogiri yang ditemukan meninggal dunia Bengawan Solo di Nguter, Sukoharjo, pada Juli 2022.

Selain Ishariyanto, ada empat terdakwa lain atas nama M. Taufik Chaeroni, 20, warga Giripurwo, Wonogiri; Tri Nur Cahyo, 23, warga Jendi, Wonogiri; Budi Sukoco, 25, warga Kerjo, Karanganyar; dan Narendra.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Ishariyanto dan Narendra ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi setelah mengembangkan penyelidikan terhadap tiga tersangka lain. Mereka diduga melakukan pengeroyokan hingga menyebabkan kematian di salah satu perumahan di Wonogiri. Kejadian pengeroyokan itu dikabarkan berlangsung pada saat ada acara syukuran di lokasi setempat.

Kasus itu kini diadili di Pengadinal Negeri Sukoharjo. Pada Rabu (1/3/2023), sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli digelar. Sehari setelahnya, Sintya, anak dari terdakwa Ishariyanto, memastikan ayahnya tidak terlibat dalam kasus pengeroyokan tersebut karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan.

“Ayah saya kalau pakai celana saja harus duduk karena pernah patah tulang paha. Jadi tidak mungkin kalau terlibat pengeroyokan dan ikut menendang korban,” terang Sintya membela sang ayah, saat berbincang dengan Solopos.com, Kamis (2/3/2023).

Dia menceritakan Ishariyanto yang suka memancing, saat terlambat datang ke lokasi kejadian karena dari tempat pemancingan. Dia datang ke rumah yang jadi lokasi pengeroyokan karena diundang pemilik rumah. Dia tiba di lokasi pada pukul 00.30 WIB. Namun, menurut Sintya, berdasarkan keterangan ayahnya saat sampai di sana tidak ada keributan yang terjadi.

“Katanya cuma salaman sama tuan rumah, masuk ke rumah sebentar kemudian keluar nyanyi kan nanggap [mengundang] organ tunggal. Setelah nyanyi, salaman, pulang, jadi tidak ada keributan saat itu, video nyanyinya juga ada,” ujarnya.

Sintya mengaku sempat mengobrol santai dengan ayahnya saat mendengar berita ditemukan mayat di Bengawan Solo, tepatnya di Nguter, Sukoharjo. Saat itu sang ayah menjawab dengan spontan saat dia di sana tidak ada keributan yang terjadi.

Dari Saksi Jadi Tersangka

Namun justru beberapa hari kemudian Ishariyanto dipanggil Polres Sukoharjo untuk dijadikan saksi. Selang sepekan kemudian ia  dijadikan tersangka. Ishariyanto sempat mengajukan beberapa saksi tetapi tidak dipanggil. Ia kemudian ditahan sejak 22 Desember 2022 dan kini mendekam di Rutan Solo.

Sintya juga mengungkapkan berdasarkan kesaksian sebelumnya di persidangan keributan terjadi pada pukul 00.00 WIB kurang. Padahal saat itu ayahnya belum berada di TKP.

“Tuan rumah saat di persidangan sebelumnya menyatakan ada keributan tetapi tidak ada pemukulan. Ayah saya menjadi tersangka karena laporan saksi yang mengatakan ada pak tua rambut putih, baju gelap, tinggi 170 cm yang menonjok dan menendang. Padahal ayah saya tingginya tidak sampai 170 cm dan rambutnya saat itu hitam,” ujar Sintya.

Pada persidangan sebelumnya hakim sempat kaget setelah melihat video rambut Ishariyanto yang hitam. Video yang direkam yang ditunjukkan saat terdakwa menyanyi di acara tersebut menjadi alat bukti. Dalam video itu menunjukkan waktunya pukul 01.13 WIB.

“Semoga ayah saya bisa bekerja kembali. Karena kasus ini kami merasa dirugikan baik tenaga, pikiran, biaya, dan mental. Kami berdoa agar masalah ini segera selesai karena mental ayah saya juga kena. Kalau kami besuk, dia kaya bingung,” katanya.

Sementara itu, pengacara terdakwa, Kenthut Wahyuni, mengatakan dalam persidangan jaksa penuntut umum (JPU) hanya bisa menghadirkan saksi ahli dari RSUD dr. Moewardi Solo.

“Kami menyimpulkan kematian korban terjadi karena retak pada tulang pangkal kepala yang bertemu dengan tulang leher. Saksi ahli mengatakan tidak mungkin ada pemukulan dari segala sisi. Kemungkinan korban jatuh dan terjungkal,” kata Kenthut.

Atas keterangan tersebut dia menyimpulkan dakwaan atas pemukulan menggunakan hebel [bata ringan] tidak terbukti dalam persidangan. Karena jika terjadi pemukulan tersebut maka yang retak adalah tulang kepala bagian bawah.

Selain itu terdapat perbedaan pakaian korban yang ditemukan. Pada saat di perumahan korban diketahui menggunakan jaket coklat. Sementara dalam hasil pemeriksaan forensik korban menggunakan kaos hitam.

“Dari keterangan beberapa saksi di persidangan tidak ada yang memukul. Hanya saksi dari teman korban yang menyatakan ada pemukulan, tetapi tidak bisa membuktikan dipukul bagian mana tidak bisa menerangkan. Biar hakim yang memutuskan,” ujar Kenthut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya