SOLOPOS.COM - Infografis Cegah Bunuh Diri (Solopos/Rahmanto Iswahyudi)

Solopos.com, WONOGIRI — Kasus meninggal dunia karena bunuh diri di Kabupaten Wonogiri dinilai tinggi. Psikolog menyebutkan ada hal menarik dari kasus bunuh diri yang terjadi di Wonogiri, dalam beberapa waktu terakhir.

“Semua dimulai dari stres yang terkait dengan masalah rumah tangga dan ekonomi. Masalah itulah yang menyebabkan timbulnya tekanan hidup,” kata Psikolog sekaligus Dosen Fakultas Psikologi Universitas Setia Budi, Yustinus Joko Dwi Nugroho, saat dihubungi Solopos.com, Senin (28/3/2022).

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Joko mengatakan saat menghadapi stres dibutuhkan kegigihan. Setiap orang dinilai memiliki kegigihan berbeda. Ada orang yang memiliki semacam keinginan untuk bertahan dari masalah. Ada pula yang tidak memiliki kegigihan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kegigihan seseorang.

Baca Juga: Tinggi Banget! Kasus Bunuh Diri di Wonogiri

“Satu di antaranya karena dia tidak pernah dilatih gigih. Artinya mudah menyerah. Atau ia sudah berusaha tapi tidak ada dukungan lingkungan sekitar yang akhirnya dia pendam sendiri. Setiap orang membutuhkan katarsis, media untuk bisa mengeluarkan energi negatif,” katanya.

Faktor lainnya, tambah Joko, terkait dengan kondisi sosial budaya. Dalam budaya jawa dikenal budaya mendem jero. Bagi yang mengilhami, makna mendem jero, yakni memilih pasrah daripada terjadi konflik, daripada membuat malu keluarga, membuat mereka yang punya masalah merasa lebih baik memendam sendiri.

“Ini membuat depresi semakin meningkat karena stres, dari tahap ringan sampai berat,” katanya.

Baca Juga: Diduga Depresi, Pemuda di Wonogiri Ini Nekat Mengakhiri Hidup

Selain budaya, faktor sakit yang menimbulkan stres juga bisa terjadi. Dalam kasus pasien yang ditemuinya, orang-orang yang memiliki sakit berkepanjangan merasa tak memiliki jalan keluar.

“Akhirnya ia melancangi Gusti [kehendak Tuhan] karena merasa hidupnya sudah tidak berguna,” kata Joko.

Era Industrialisasi

Joko mengatakan era industrialisasi telah membuat wajah Kabupaten Wonogiri bukan lagi menjadi kota kecil. Kondisi ini juga berpengaruh ke tingginya angka bunuh diri di Wonogiri. Sebagaimana diketahui, warga di Kabupaten Wonogiri banyak yang bekerja di luar daerah/merantau.

Baca Juga: Sakit Menahun, Nenek-Nenek Asal Selogiri Wonogiri Gantung Diri

“Pekerjaan warga rata-rata berada di luar daerah. Itu bisa membuat komunikasi interpersonal keluarga tidak maksimal. Sehingga keluarga menjadi kurang peduli pada orang tua. Dukungan keluarga yang tak maksimal karena keharusan mencari nafkah di luar daerah memicu perasaan empati yang kurang,” katanya.

Joko mengatakan dibutuhkan kerja sama lintas sektoral dalam mengatasi efek industrialisasi. Hal itu dapat diawali dengan meraba akar permasalahan dari setiap kasus bunuh diri.

“Kita harus tahu terlebih dahulu kebanyakan masalahnya karena apa? Bisa dari ekonomi, kondisi spiritual, dan kepedulian lingkungan. Sebenarnya dari lingkungan itu sudah ada tanda-tanda yang mengarah ke depresi. Tanda-tanda itu harus dipahami anggota keluarganya,” katanya.

Baca Juga: Depresi, Warga Kismantoro Wonogiri Ceburkan Diri dalam Sumur 8 Meter

Sebagaimana diketahui, kasus meninggal dunia karena bunuh diri di Kabupaten Wonogiri kembali terjadi. Seorang warga berinisial SJ, 80, asal Desa Gambirmanis, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, ditemukan meninggal dunia dalam keadaan gantung diri, Senin (28/3/2022). Kasus SJ memperpanjang kasus daftar kejadian bunuh diri di Wonogiri. Sepanjang Januari-Maret 2022, telah terjadi empat kali kasus bunuh diri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya