SOLOPOS.COM - Ilustrasi Stunting (Solopos/Whisnupaksa Kridhangkara)

Solopos.com, SRAGEN — Angka stunting di Sragen naik dari 4.353 anak pada 2021 menjadi 5.085 anak pada 2022. Hal ini salah satunya disebabkan belum adanya kolaborasi antarkader kesehatan. Ke depan, kader kesehatan tak boleh lagi bekerja parsial dalam menangani stunting dan jangan gagap teknologi (gaptek).

Demikian disampaikan Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati, saat ditemui wartawan di Pendapa Sumonegaran Sragen, Rabu (15/2/2023). Pemkab Sragen telah melakukan studi banding di Sumedang, Jawa Barat, untuk belajar menangani stunting. Hasil dari studi banding tersebut menunjukkan pemanfaatan teknologi penting untuk mengoptimalkan upaya menekan stunting. Ilmu yang didapat dari studi banding tersebut, kata Bupati, akan diterapkan di Sragen.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

“Programnya bagus. Sragen punya kader di lapangan. Biar tidak gaptek, masing-masing dikasih ponsel untuk input data. Lewat program itu bisa lihat penatalaksanaan di masing-masing bidang. Jadi memang dipetakan betul. Belajar ke Sumedang itu hasilnya bisa diimplementasi,” ujarnya.

Sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) yang dimiliki Sumedang sangat menonjol dan sudah terintegrasi. Sementara Sragen, sambung Bupati, masih parsial dalam menerapkan SPBE. Oleh karenanya dia meminta Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Sragen mengintegrasikan sistem di masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD) dalam satu sistem yang disebut elektronic office (e-Office) maksimal Mei 2023 mendatang.

“Nanti bupati tanda tangan elektronik, disposisi juga elektronik. Dalam disposisi bupati ada menu pilihan ACC, tindak lanjut, dikaji, dan kolom kosong. Pada disposisi kan kadang ada kata-kata yang berbeda, kadang kalau tidak menyenangkan saya jawab mbuh yak. Nah, guyonan teman-teman dinas itu khusus bupati ditambah menu mbuh yak,” jelasnya.

Dia mengatakan kunci penanganan stunting itu terletak pada kader dan kolaborasi. Yang terjadi selama ini petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) jalan sendiri, begitu pula kader posyandu dan tenaga kesehatan. “Bayangkan kalau semua kader itu teroganisasi dengan baik. Yang mengukur balita itu kader posyandu, verifikasi data dilakukan kader kesehatan, dan untuk laporan bareng, maka bisa cepat dalam penanganan stunting,” ujar Bupati.

2 Sumber Data Stunting

Lebih jauh ia mengatakan ada dua sumber data stunting, yakni dari survei hasil gizi Indonesia (SSGI) dan dari elektronik pencatatan dan pelaporan gizi balita berbasis masyarakat (E-PPGBM). Data E-PPGBM disebutnya sebagai data riil  hasil pengukuran 98% balita, tetapi akurasinya tidak bisa diukur.

“Alat ukurnya pakai antropometri, tapi belum semua posyandu punya alat itu. Kekurangannya akan dipenuhi Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Untuk sumber datanya sepakat di Jateng memakai data E-PPGBM,” katanya.

Kalau memakai data E-PPGBM, angka stunting di Sragen turun dari 11,17% menjadi 10,72%. Tetapi bila menggunakan data SSGI ada kenaikan dari 18,8% menjadi 24,3%

Sementara itu, Ketua Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Sragen, Damai Tatag Prabawanto, berencana menginstruksikan setiap organisasi anggota memiliki binaan satu posyandu dalam penanganan stunting. “Ada 32 organisasi di GOW, tetapi yang aktif hanya 30 organisasi. Termasuk IBI [Ikatan Bidan Indonedia] juga sudah berkiprah dalam penanganan stunting,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya