SOLOPOS.COM - Keluarga besar Siswomartono, warga Kiringan, Boyolali berfoto di depan SDN Sambi 1 Kecamatan Sambi, Boyolali. (Muhammad Ismail/JIBI/Solopos)

Angon putu Boyolali, meski memiliki anak-anak berbeda agama, tak membuat warga Kiringan ini terus menjalin silaturahmi.

Solopos.com, BOYOLALI–Wajah pasangan suami istri Siswomartono, 85, dan Dayati, 80, warga RT 002/ RW 001 Desa Kiringan, Boyolali tersenyum lebar ketika anak, cucu, dan buyut atau cicit berkumpul jadi satu di rumahnya, Jumat (25/12/2015) pagi.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Berada di kerumunan cucu, dan cicit yang berjumlah 41 orang yang terdiri atas cucu sebanyak 33 orang dan cicit sebanyak 8 orang, Siswomartono menggunakan topi caping berkali-kali mengayunkan pecut yang dia pegang di tangan kanannya. Selang beberapa menit kemudian puluhan burung merpati dilepas bersama-sama keluarga di halaman rumahnya. Setelah itu semua keluarga sugkeman.

Pelepasan burung merpati itu simbol kebersamaan keluarga. Meskipun jumlah keluarga banyak dan merantau di sejumlah daerah di Indonesia hingga luar negeri tetap akan kembali kerumah dan menjadi satu keluarga. Berkumpulnya semua keluarga besar itu dijuluki sebagai Angon Putu atau mengembala cucu.

Seteleh melepas burung merpati keluarga itu menuju ke SDN 1 Sambi, Kecamatan Sambi, Boyolali. Di sekolah itu, pasangan suami istri menceritakan kepada anak, cucu, dan cicitnya awal mulanya mereka bertemu ketika keduanya menjadi guru tahun 1954 silam.

Di sekolah itu akhirnya mereka berdua menjalin kasih hingga menikah dan punya sembilan anak.
“Usia pernikahan saya dengan istri [Dayati] 58 tahun. Ritual Angon Putu ini sebagai upaya nguri-nguri budaya dan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesuksesan semua anggota keluarganya,” ujar Siswomartono saat membuka wawancara kepada wartawan, Jumat.

Ia mengaku tidak mudah membesarkan sembilan anaknya dan butuh perjuangan yang hebat. Ia berkisah gaji pokok sebagai guru SD kelas VI hanya Rp156/bulan. Bahkan untuk mencukupi hidup keluarga dan sekolah anaknya harus menjual makanan dan minuman.

“Saya jarang memberi uang saku sekolah pada anak-anak saya karena tidak punya uang. Namun, sekarang rata-rata keluarga besar saya lulusan S2 [pascasarjana] dan bekerja disejumlah instansi pemerintahan pusat hingga daerah,” kata dia.

Anak pertama Retno Purwaning, 58, mengatakan orang tua tidak mampu membelikan seragam sekolah karena tidak punya uang hingga akhirnya harus pinjam uang dari orang lain.
Ia menjelaskan bersama tujuh saudaranya selalu memegang teguh toleransi antarumat beragama meskipun berbeda agama.

“Sembilan anak bapak [Siswomartono] menganut empat agama ada yang beragama Islam, Kristen, Katolik, dan Kristen Protestan. Meski pun beda keyakinan kami selalu hidup damai bersama,” ujar Retno.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya