SOLOPOS.COM - Makam tua di tengah Permakaman Umum Dukuh Karungan, Desa Karungan, Kecamatan Plupuh, Sragen, dipercaya sebagai makam Raden Ayu Serang, Jumat (20/1/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Sebuah makam yang dibuat dari tumpukan batu persegi terlihat menonjol di permakaman umum Dukuh Karungan, Desa Karungan, Kecamatan Plupuh, Sragen. Makam itu dikelilingi pagar BRC dan terlihat taburan bunga yang terlihat belum sepenuhnya layu di atasnya.

Warga Desa meyakini makam itu tempat peristirahatan terakhir Raden Ayu Serang yang dipercaya merupakan Nyi Ageng Serang. Sosok yang dikubur di makam itu juga dipercaya sebagai cikal bakal Dukuh Karungan.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Warga Karungan mengenal sosok Raden Ayu Serang sebagai tokoh pejuang di era Perang Jawa atau Perang Diponegaran yang berlangsung dalam kurun waktu 1825-1830 Masehi. Makam itu berada di pinggir sungai tua dengan hilirnya Sungai Bengawan Solo.

Di permakaman itu ada sejumlah makam tua lain. Makam tersebut diduga merupakan pengikut Raden Ayu Serang. Ada juga makam yang agak terpisah dengan nisan yang tua yang diyakini sebagai Makam Demang Setrodimejo.

Kepala Desa Karungan, Joko Sunarso, mengajak sejumlah sesepuh desa untuk mengobrol bersama wartawan di bawah regol atau pintu gerbang makam Karungan, Jumat (20/1/2023). Para sesepuh desa itu terdiri atas Sukardi, 69, yang juga Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Karungan; dan Sunardi Ahmad taruna, 60, yang juga Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) Karungan. Ada pula Sunarto, 66,  pengawas badan usaha milik desa (BUMDes) Karungan.

Sambil menikmati secangkir kopi dan gorengan di atas selembar tikar, Joko mulai bercerita tentang cikal bakal Desa Karungan. “Saya mulai peduli sejarah desa itu sejak menjadi kades. Saya datang ke para sesepuh untuk menanyakan sejarah desa. Ya, makam tua itu diyakini warga desa sebagai makam Raden Ayu Serang atau Nyi Ageng Serang,” katanya.

Joko melanjutkan, dari kisah Raden Ayu Serang ini bisa diketahui sejarah nama-nama dukuh di Desa Karungan. Raden Ayu Serang tiba di wilayah yang kini menjadi Desa Karungan dalam keadaan terluka pada era Perang Diponegaran. Dia datang dengan dua pengawalnya untuk bersembunyi.

Dirasa kurang cukup untuk menjaga tempat Raden Ayu Serang sembunyi, dua penjaga tersebut lantas merekrut warga terdekat untuk ikut menjaga.

“Penjagaan diperkuat dari sisi barat dan barat daya karena arah musuh, yakni pasukan Belanda dan anteknya, datang dari arah tersebut. Arah itu merupakan arah lokasi Keraton Kartasura atau Keraton Yogyakarta. Perekrutan penjaga diambil dari daerah Ngeseng, Gemolong, Sragen,” jelas Joko.

Penjagaan dilakukan di empat penjuru arah mata angin. Sembari berjaga, warga juga diminta supaya bercocok tanam di lahan oro-oro di belakang pendapa dan rumah yang ditinggali Raden Ayu Serang dengan cara dibuat petak-petak atau digaleng. Tempat itu sekarang bernama Dukuh Karanggaleng.

Penjaga yang paling sakti bernama Mbah Karang yang berjaga di sisi barat daya. Di lokasi tempat Mbah Karang berjaga sekarang ada pohon beringin besar, tepatnya di depan Pasar Bahulak. Petak-petak sawah yang digarap Mbah Karang ini sekarang menjadi Dukuh Sawahan.

Penjagaan juga dilakukan di sisi timur yang dulu ada pohon kawis. Tempat itu sekarang menjadi Dukuh Kawistu [kawis dan batu]. “Penjagaan ini terletak di utara sungai. Sedangkan penjagaan di selatan sungai ditandai dengan pohon gayam sehingga lokasi itu sekarang bernama Dukuh Gayaman,” jelas Joko.

Apa yang dilakukan Raden Ayu Serang kala itu, sambungnya, merupakan bagian dari strategi perang. Hasil panen warga disimpan di lumbung pangan yang berada di kediaman Raden Ayu Serang. Bahan pangan itu digunakan saat dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan pangan saat perang.

Kediaman Nyi Ageng Serang

Joko mengaku menemukan batu umpak dengan ukuran trapesium dengan sisi persegi di bagian atas dan bawahnya. Ukuran sisi persegi di atas 20 cm dan sisi bawah sekitar 30 cm. Umpak batu itu ditemukan di pinggir sawah dan diduga merupakan umpak regol pendopo Nyi Ageng Serang.

Lokasi yang dulu berdiri pendopo dan rumah kediaman Nyi Ageng Serang sekarang jadi lahan kosong yang ditandai dengan pohon duwet. Kompleks rumah tinggal Raden Ayu Serang itu diberi nama Krajan yang berarti kerajaan. Dia tempat itulah, kata Joko, Raden Ayu Serang hidup hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di sisi tenggara dari regol pendapa Raden Ayu Serang.

“Konsep lumbung pangan itu masih berjalan meskipun Raden Ayu Serang sudah wafat. Saat warga gagal panen maka kebutuhan pangannya bisa mengambil ke lumbung pangan itu. Lumbung pangan itu berisi bahan pangan berkarung-karung. Saking banyaknya karung berisiitu maka daerah ini disebut dengan Dukuh Karungan,” katanya.

Nilai yang bisa dipetik dari kisah sejarah itu, sambung Joko, yakni karakter gotong-royong dan solidaritas masyarakat yang tinggi sejak dulu. Dia merasakan sikap guyub rukun dan solidaritas itu masih ada sampai sekarang. Sikap itu pula yang  menggerakan warga Karungan memiliki objek wisata Pasar Bahulak yang mendapat penghargaan tingkat nasional.

Sesepuh Desa Karungan, Sunardi, menilai penting mengetahui sejarah pendahulu Desa Karungan. Dengan begitu, warga bisa mengetahui jati diri desa dan melestarikannya.

“Pemerintah Desa Karungan memberdayakan semua pihak, baik pertanian, keagamaan, pencaksilat, dan pariwisata. Tujuan akhirnya dari belajar sejarah itu supaya bilsa meninggalkan nilai kepada anak cucu ke depan,” harapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya