Soloraya
Minggu, 15 Mei 2016 - 08:00 WIB

ASAL USUL : Asale Petilasan Ki Joko Budug Sragen

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Petilasand Joko Budug di Sragen (Moh Khodiq Duhri/JIBI/Solopos)

Asal usul kali ini tentang petilasa Ki Joko Budug di Sragen.

Solopos.com, SRAGEN – Suasana hening terasa saat Espos tiba di sebuah gubuk beratap daun rumbia di Dusun Gamping, Desa Jambeyan, Kecamatan Sambirejo, pekan lalu. Gubuk tua itu berada tak jauh dari Sendang Gampingan yang memiliki mata air hangat. Beberapa orang datang untuk berziarah. Di gubuk itu, terdapat petilasan Ki Joko Budug yang memiliki nama lengkap Raden Haryo Bangsal Putra Raja Majapahit.

Advertisement

Sugiyono, warga sekitar menceritakan asal-usul petilasan Ki Joko Budug yang sudah menjadi cerita rakyat yang berkembang di masyarakat. Cerita bermula ketika Ki Joko Budug pergi dari kerajaan untuk berpetualang. Dia tiba di sebuah pemukiman di Desa Bayem Taman di kawasan Sine Ngawi.

Di desa itu, Ki Joko Budug singgah di rumah Mbok Rondo Dadapan. Tak jauh dari permukiman itu terdapat Kerajaan Pohan. Saat itu musim kemarau datang. Pohon Pisang Pupus Cinde Mas kesayangan Raja Kerajaan Pohan layu. Raja kemudian membuat sayembara. Siapa yang bisa mengalirkan air ke pohon Pisang Pisang Cinde Mas, jika laki-laki akan dijadikan menantu, jika perempuan akan dijadikan anak angkat.

Advertisement

Di desa itu, Ki Joko Budug singgah di rumah Mbok Rondo Dadapan. Tak jauh dari permukiman itu terdapat Kerajaan Pohan. Saat itu musim kemarau datang. Pohon Pisang Pupus Cinde Mas kesayangan Raja Kerajaan Pohan layu. Raja kemudian membuat sayembara. Siapa yang bisa mengalirkan air ke pohon Pisang Pisang Cinde Mas, jika laki-laki akan dijadikan menantu, jika perempuan akan dijadikan anak angkat.

Mendengar sayembara itu, Ki Joko Budug meminta izin Mbok Rondo Dadapan untuk mengikutinya. Dengan kesaktian dia, Joko Budug berhasil membuat terowongan di dalam tanah dengan tangan kosong. Terowongan itu menghubungkan Kali Sawur dengan taman yang ditanami pohon pisang kesayangan raja itu.

”Terowongan bawah tanah itu masih bisa dijumpai hingga sekarang. Ujung terowongan itu berada di Kali Sawur yang memisahkan wilayah Sragen, Jawa Tengah dengan wilayah Ngawi, Jawa Timur,” jelas Sugiyono.

Advertisement

Raja kemudian memerintahkan seorang patih untuk memandikan Joko Budug di Sendang Gampingan. Sayang, patih itu mengalami gangguan pendengaran. Perintah raja untuk mbilasi [membersihkan dengan air] didengar patih untuk nelasi [menghabisi]. Oleh patih, Joko Budug akhirnya dihabisi nyawanya di dekat Sendang Gampingan.

Di dekat sendang itu, patih memerintahkan prajurit untuk membuat kubur atau liang lahat. Kubur itu dibuat seukuran orang biasa. Keanehan muncul ketika jasad Joko Budug hendak dikubur. Liang lahat itu tidak cukup besar untuk menampung jasad Joko Budug. Meski panjang liang lahat ditambah menjadi 11 meter, jasad Joko Budug tetap tidak bisa dimasukkan.

”Menurut wangsit yang didapat sepepuh kerajaan, Joko Budug bersedia dimakamkan asalkan berada satu liang dengan calon istrinya yang tak lain putri raja,” terang Sugiyono.

Advertisement

Sejak saat itu, Joko Budug tidak jadi dimakamkan di dekat Sendang Gampingan. Jasadnya kemudian dipindah ke Gunung Liliran yang berada tak jauh dari Kerajaan Pohan. Berita kematian Joko Budug akhirnya didengar Raja Majapahit. Raja kemudian memerintahkan pemindahan jasad Joko Budug dari Gunung Liliran ke Kerajaan Majapahit.

”Jadi, petilasan Ki Joko Budug itu ada di Dusun Gamping dan Gunung Liliran. Sampai sekarang, dua tempat itu biasa menjadi rujukan warga untuk berziarah,” jelas Sugiyono.

 

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif