SOLOPOS.COM - Situs Candi Menggung di Kampung Nglurah, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Foto diambil belum lama ini. (Solopos.com/Indah Septiyaning Wardani)

Solopos.com, KARANGANYAR — Di wilayah Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar terdapat sebuah kampung bernama Nglurah. Nama ini berasal dari kata “luh” dan “rah”. Dalam bahasa Jawa, “luh”  berarti air mata dan “rah” berasal dari kata darah.

Konon kampung tersebut dulunya terpecah menjadi dua, yakni Lor dan Kidul. Kepala Dusun Nglurah, Ismanto Hartono, mengisahkan pada zaman dulu, kampung Lor dan Kidul selalu berseteru. Perseteruan itu dilatarbelakangi oleh adu kesakitan warganya untuk memperebutkan pasokan makanan.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Kampung Lor dipimpin oleh tokoh bernama Kyai Menggung. Sementara Kampung Kidul ada Nyai Roso Putih. Perseteruan terus terjadi hingga keduanya mengeluarkan air mata darah.

“Dua kubu terus bentrok. Sampai Kyai Menggung dan Nyai Roso Putih ngetokke luh darah. Sejak itu akhirnya kampung dinamakan Nglurah dari kata luh dan rah,” kata dia ketika berbincang dengan Solopos.com, Jumat (23/6/2023) petang.

Hingga akhirnya Kyai Menggung dan Nyai Roso Putih bersatu dengan ikatan pernikahan untuk mengakhiri perseteruan tersebut. Situs Menggung menjadi sebuah tempat sakral yang dipercaya sebagai lokasi perdamaian Kyai Menggung dan Nyai Roso Putih. Untuk mengenang peristiwa itu, masyarakat setempat menggelar upacara dukutan.

Tradisi dukutan dilakukan turun temurun sejak abad ke–14 yang digelar sesuai pakem masyarakat adat Kampung Nglurah setiap tujuh bulan sekali. Harinya ditetapkan Selasa Kliwon dengan wuku dukutan. Prosesi diawali dengan doa, kemudian dilanjutkan arak-arakan dari pendopo, menuju situs Candi Menggung.

Ritual dilanjutkan pada tawur alit yang menjadi puncak prosesi dengan diikuti seluruh peserta ritual. Ritual tahunan dukutan ini merupakan bentuk syukur masyarakat atas kerukunan yang terjalin antarwarga desa. “Dukutan upaya warga Nglurah dalam melestarikan adat yang sudah berlangsung secara turun temurun,” kata Ismanto.

Selain tradisi dukutan, Kampung Nglurah juga dikenal dengan surganya tanaman hias. Mayoritas penduduk Nglurah merupakan pembudidaya sekaligus penjual tanaman hias. Memasuki Kampung Nglurah akan disuguhi pemandangan beraneka ragam tanaman hias di setiap halaman di rumah penduduk setempat.

“Sudah tiga generasi warga Nglurah menjadi pembudi daya dan penjual tanaman hias,” kata dia.

Ismanto bahkan menyebut perputaran uang di Kampung Nglurah per bulan menembus Rp7 miliar dari bisnis tanaman hias. Kampung Nglurah telah dinobatkan sebagai Kampung Wisata Tanaman Hias oleh Pemkab Karanganyar. Kampung ini menjadi jujukan kunjungan wisatawan dari berbagai daerah ke Karanganyar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya