Solopos.com, KLATEN — Perjuangan Pangeran Diponegoro bersama para prajuritnya dalam mengusir penjajahan kolonial Belanda menggunakan taktik pertempuran gerilya sekitar tahun 1820-an. Suatu ketika, pelarian dan persembunyian mereka sampai di wilayah Desa Kepurun, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten.
Saat itu, kondisi Pangeran Diponegoro dan prajuritnya terlalu lelah. Pangeran Diponegoro dan pengikutnya kemudian beristirahat di tepi sendang atau sumber air. Mereka membasuh badan untuk menyegarkan badan dan berwudu sehingga mereka nampak kembali segar dan semangat.
Dalam kondisi demikian, Pangeran Diponegoro berusaha membakar semangat prajuritnya dengan mengatakan dalam Bahasa Jawa.
“He sedulurku kabeh, isih purun berjuang perang karo Londo!” (Hai Saudaraku semua, apa kalian masih bersedia berperang melawan Belanda!).
“He sedulurku kabeh, isih purun berjuang perang karo Londo!” (Hai Saudaraku semua, apa kalian masih bersedia berperang melawan Belanda!).
Dengan penuh semangat yang menggelora para prajurit menjawab, “Purun…!” (bersedia/siap!).
Baca Juga: Jejak Perjuangan A.H. Nasution di Kaki Merapi Klaten, Ini Foto-Fotonya
Sendang yang digunakan untuk mandi/membersihkan badan tadi kemudian dinamakan sendang Kuwanen dari kata wani atau keberanian. Sendang Kuwanen hingga sekarang masih mengalir dan airnya jernih
Sekitar tahun 1582, konon di desa tersebut menjadi tempat peristirahatan para permaisuri jelita saat terjadi pertempuran hebat antara Kerajaan Pajang melawan Mataram. Permaisuri tersebut singgah di sebuah renggo atau sejenis bangsal atau padepokan.
Lantaran kecantikan permaisuri itulah, banyak orang menyebut lokasi tersebut menjadi Manisrenggo, artinya renggo tempat permaisuri yang manis singgah.
Baca Juga: LSF RI Sensor 39.000 Judul Film, Termasuk Ikatan Cinta
Desa Kepurun juga pernah menjadi salah satu wilayah yang terdampak Agresi Militer II Belanda. Aksi tersebut dimulai dari menyerang Lapangan Udara Maguwo, Yogyakarta.
Taktik yang digunakan Belanda dengan mengadakan serangan kilat (blitzkrieg). Belanda kemudian berhasil menguasai Kota Jogja dan para pemimpin RI dapat ditangkap dan ditawan.
Menghadapi serangan Belanda, TNI kemudian menerapkan taktik Pertahanan Rakyat Semesta (Permesta). Taktik Pertahanan Rakyat Semesta merupakan perang gerilya secara total dengan cara menyebarkan kekuatan di seluruh wilayah yang disebut kantong-kantong perlawananan.
Perintah Kilat No. 1 tanggal 12 Juni 1948 dari Jenderal Sudirman selaku Panglima Besar Angkatan Perang RI, sebagaimana tertulis pada prasasti di belakang monumen Parata MBKD Kepurun berisi:
Baca Juga: KISAH KEPURUN : Monumen Perjuangan Diponegoro Hingga Soal Sendang
1. Kita telah diserang.
2. Pada tanggal 19-12-1948 angkatan perang Belanda menyerang Kota Yogyakarta dan Lapangan Terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetetujuan gencatan senjata.
4. Semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
Baca Juga: Sudah 2 Tahun Napak Tilas Perjuangan Pahlawan di Klaten Tak Digelar
Monumen MBKD kemudian menjadi bangunan memperingati keberhasilan perang Permesta dalam menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Monumen MBKD diresmikan tanggal 19 Desember 1982 oleh Adam Malik.