Soloraya
Kamis, 19 Mei 2022 - 17:31 WIB

Awas, Teknofobia Bisa Hambat Kemajuan Bisnis Pelaku UMKM, Pahami Yuk! 

Afifa Enggar Wulandari  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Director and Chief and Sustainability Officer (CRSO) Amartha Mikro Fintek, Aria Widyanto, saat menjadi pembicara workshop KUR Festival Fintech 2022 di Solo Technopark, Kamis (19/5/2022). (Solopos/Afifah Enggar Wulandari)

Solopos.com, SOLO — Teknofobia menjadi salah satu hal yang harus diwaspadai kalangan pelaku usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM karena bisa menghambat kemajuan usaha dan bisnis mereka. Apalagi di era digital sekarang ini yang tidak bisa lepas dari teknologi.

Director and Chief and Sustainability Officer (CRSO) Amartha Mikro Fintek, Aria Widyanto, menjelaskan teknofobia adalah semacam perasaan takut menggunakan teknologi karena takut salah. Teknofobia ini masih banyak dijumpai di kalangan perempuan pelaku usaha kecil hingga menengah.

Advertisement

“Teknofobia itu mungkin secara kultur misalnya perempuan tidak boleh memakai handphone. Akhirnya mereka takut. Kemudian, perempuan ragu dalam menggunakan teknologi, takut salah. Nah ini yang disebut dengan teknofobia. Sehingga perlu diajarin,” jelasnya saat ditemui Solopos.com seusai menjadi pembicara dalam workshop KUR Festival Fintech 2022 di Solo Technopark, Kamis (19/5/2022).

Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Matematika, Ekshan Rahmad Wardani, dalam tesisnya yang dibuat pada 2022, menyinggung soal teknofobia yang menjadi kekhawatiran bagi pelaku UMKM ini.  Mengutip Giamoco (2019), teknofobia menjadi faktor risiko baru yang mungkin terjadi pada orang dewasa karena dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka melalui adaptasi rendah terhadap kehidupan digital.

Advertisement

Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Matematika, Ekshan Rahmad Wardani, dalam tesisnya yang dibuat pada 2022, menyinggung soal teknofobia yang menjadi kekhawatiran bagi pelaku UMKM ini.  Mengutip Giamoco (2019), teknofobia menjadi faktor risiko baru yang mungkin terjadi pada orang dewasa karena dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka melalui adaptasi rendah terhadap kehidupan digital.

Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 64,5 persen atau 37 juta pelaku UMKM Indonesia pada 2018 adalah perempuan. Mereka masih bergerak pada sektor mikro dan informal. Para pelaku UMKM itu bahkan belum mempunyai akses ke dunia digital sehingga kemajuan bisnis mereka cenderung terhambat.

Baca Juga: Kain Lukis Produk UMKM Solo Tembus ke Jepang, Ternyata Begini Ceritanya

Advertisement

Padahal sektor UMKM mampu memberikan kontribusi terhadap lapangan kerja sebesar 97 persen dan kontribusi terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar 57,8 persen. Aria yang merupakan lulusan studi pembangunan berkelanjutan, gender, dan kemiskinan Univesity of London, mengatakan perempuan dalam dunia UMKM khususnya, lebih tertinggal dalam urusan teknologi digital.

Perlu adanya edukasi kepada para pelaku UMKM itu agar tidak mengalami teknofobia. “Perempuan lebih tertinggal dalam teknologi digital sehingga perlu diajarin ya,” jelasnya. Kondisi tersebut dimungkinkan karena beberapa faktor.

Baca Juga: Geliatkan UMKM Soloraya, OJK Solo Dorong Optimalisasi Peran TPAKD

Advertisement

Di antaranya akses perempuan baik dalam pendidikan di daerah-daerah pinggiran utamanya, masih terbatas. Dengan begitu, mereka semakin terpinggirkan dari akses teknologi.

Padahal saat ini, teknologi menjadi sektor yang tak bisa dijauhkan dari sektor lainnya. Aria mencontohkan pelaku UMKM saat pandemi harus berpikir bagaimana usaha mereka tetap jalan. Sementara usaha makanan menengah ke atas sudah mulai beralih ke penjualan digital.

Edukasi Masyarakat Pinggiran

Sebagai pelaku usaha industri jasa keuangan, Aria mengatakan kewajiban industri jasa keuangan tidak hanya memberikan akses pemodalan namun juga mengedukasi masyarakat khususnya perempuan di pinggiran. Edukasi tersebut tentunya bukan menjadi tugas pelaku usaha jasa keuangan saja, namun juga pemerintah.

Advertisement

Baca Juga: Keren, 3 E-Commerce Dampingi 50 UMKM Solo Hingga Mahir Jualan Online

“Para pelaku industri jasa keuangan itu juga harusnya memiliki kewajiban tidak hanya memberikan akses permodalan. Tapi juga mengedukasi masyarakat untuk bertransformasi ke sektor digital,” katanya.

Bila masyarakat pinggiran telah teredukasi, mereka akan bisa memanfaatkan tekonologi untuk hal produktif, mampu meningkatkan skill yang berimbas kepada tingkat kesehajteraan mereka.

“Sehingga mereka [perempuan yang mengalami teknofobia] menggunakan Internet untuk keperluan yang lebih produktif dan bisa meningkatkan kesejahteraan dan skill termasuk bagaimana mengakses marketplace dan sebagainya,” jelasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif