SOLOPOS.COM - Pengrajin rotan mengerjakan pesanan kursi di Dusun Kramat, Desa Trangsan, Kecamatan Gatak, Sukoharjo, Rabu (1/5/2013). (Dian Dewi Purnamasari/JIBI/SOLOPOS)


Pengrajin rotan tengah mengerjakan pesanan kursi di Dusun Kramat, Desa Trangsan, Kecamatan Gatak, Sukoharjo, Rabu (1/5/2013). (Dian Dewi Purnamasari/JIBI/SOLOPOS)

Tidak sulit mencari pengrajin rotan di Dusun Kramat, Desa Trangsan, Kecamatan Gatak, Sukoharjo. Begitu memasuki jalan dusun terlihat berbagai macam produk kerajinan rotan disusun di halaman, teras rumah, bahkan di tembok permakaman.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Aktivitas warga Dusun Kramat ini terus berdenyut meski matahari sudah berada tepat di atas kepala. Di salah satu rumah, Ikhsan Sahid, sedang menjalankan peralatan mirip alat las. Alat tersebut ia gunakan untuk menyelesaikan anyaman rotan yang hampir jadi. Ditemani seorang perempuan paruh baya, ia menyelesaikan pesanan rak cabinet dari perusahaan Karisma dan Yudhistira.

“Satu kotak cabinet ini dihargai Rp40.000/pieces. Sudah beberapa tahun ini kami hanya mengerjakan pesanan perusahaan lain tanpa memiliki buyer sendiri. Istilahnya nge-sub,” tutur Ikhsan saat ditemui Solopos.com di sela-sela kesibukannya Rabu (1/5/2013).

Ikhsan mengatakan sudah beberapa tahun terakhir harga bahan baku rotan cukup mahal. Semenjak itu juga ia hanya mengerjakan kerajinan rotan sesuai pesanan. Dari perusahaan besar, harga beli rotan tersebut sudah dipatok. Saat ini, ia melayani pesanan dari tiga pabrik sekaligus. Rata-rata dalam sebulan, ia mengerjakan 1.000 pesanan.

Di halaman rumahnya, Suyamto, 57, juga sedang sibuk menganyam rotan. Alunan musik dangdut menemani pekerjaannya siang itu. Rotan-rotan berukuran kecil terlihat berserakan di samping kiri dan kanan bapak empat anak itu. Suyamto adalah salah satu pengrajin yang masih bertahan di tengah gempuran inflasi. Ia mengambil dan memasok barang langsung kepada pembeli tanpa perantara.

Kendati demikian, ia masih merasa megap-megap dengan kenaikan harga bahan baku rotan yang tidak menentu. Klasik, ia mengatakan zaman sebelum reformasi lebih nyaman daripada zaman sekarang. “Dulu saya bisa mendapat penghasilan bersih Rp5 juta per bulan. Kalau sekarang untuk mendapatkan Rp1,5 juta-Rp2 juta saja sulit,” keluhnya.

Suyamto yang sudah puluhan tahun menjalankan usaha kerajinan rotan itu mengaku jumlah pengrajin saat ini berkurang drastis. Banyak pengrajin gulung tikar maupun alih profesi. Sebagian dari mereka yang kekurangan modal, memilih meninggalkan rotan dan mencari pekerjaan lain.

“Banyak yang menjadi buruh bangunan karena tidak sanggup menjalankan usahanya lagi. Selain itu banyak juga yang menjadi tangan panjang perusahaan besar.”

Suyamto mengatakan sejak rotan mentah diekspor, pengrajin semakin kesulitan mendapatkan bahan baku. Selama ini, ia mendapatkan pasokan rotan Kalimantan dari pengepul di Surabaya. Tak heran, ia mendapatkan harga lebih murah dari pengrajin lain di Dusun Kramat.

“Kalau di pedagang grosir harganya selisih Rp2.000-Rp5.000/potong. Kebetulan saya masih sanggup mengambil sendiri dari pemasok,” ujarnya.

Kendati terseok-seok, Suyamto tetap menjalankan usahanya. Ia juga melihat pada tahun ini situasi cukup membaik. Hal itu terindikasi dari jumlah pesanan yang mulai stabil dari buyer. Ia berharap kondisi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) terus membaik. Pasalnya, ia pernah merasakan kejayaan usaha kerajinan rotan tersebut.

“Cuma dari rotan ini saya bisa membangun rumah dan menyekolahkan anak-anak. Bahkan dulu saya mampu menyekolahkan anak di Kedokteran Umum Universitas Indonesia (UI),” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya