Soloraya
Rabu, 16 Mei 2012 - 19:02 WIB

BALITA LUMPUH LAYU: Jangankan Gerakkan Kaki, Angkat Kepala pun Tak Mampu

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - LUMPUH LAYU–Septa Rahmadani, 4,8, penderita lumpuh layu dipangku ibunya, Paniyem, 40, warga Dukuh Tengaran RT 017, Desa Katelan, Kecamatan Tangen, Sragen, Rabu (16/5/2012). (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

LUMPUH LAYU -– Septa Rahmadani, penderita lumpuh layu dipangku ibunya, Paniyem, 40, warga Dukuh Tengaran RT 017, Desa Katelan, Kecamatan Tangen, Sragen, Rabu (16/5/2012). (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

Di depan rumah berdinding papan dan berlantai tanah itu berdiri sosok lelaki setengah baya bertelanjang dada. Dia menyambut dengan senyum ketika rombongan wartawan bertandang ke rumahnya di Dukuh Tengaran RT 017, Desa Katelan, Kecamatan Tangen, Sragen, Rabu (16/5/2012). Dari dalam rumah tampak seorang perempuan tengah menggendong seorang anak yang berumur hampir lima tahun. Ibu yang dikenal masyarakat setempat dengan nama Paniyem, 40, menimang-nimang anaknya yang baru masuk angin. Anak itu bernama Septa Rahmadani. Kendati umurnya sekitar 4 tahun, anak bungsu pasangan Sukiyo, 45, dan Paniyem, 40, itu belum bisa bicara dan berjalan. Untuk kebutuhan makan dan minumnya selalu disuapi orangtuanya.
Advertisement

“Kalau minta makan dan minum hanya dengan isyarat tangisan. Tangannya pun juga tak bisa memegang barang apa pun. Tubuhnya lemas. Mengangkat kepala saja anak ini belum bisa. Sudah empat tahun ini saya asuh seperti bayi,” keluh Paniyem sembari duduk di amben.

Ada dua buah amben tempat tidur yang terletak di ruang utama. Ruang utama dan dapur hanya disekat dengan dinding gedek. Sukiyo hanya duduk di amben satunya saat menerima para wartawan. Laki-laki satu-satu tumpuan keluarga yang bekerja sebagai buruh tani. Untuk mengobati Septa, Sukiyo sudah banyak merogoh koceknya.

Septa menurut Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Tangen termasuk salah satu penderita lumpuh layu. Lumpuhnya anak kelima dari lima bersaudara ini bukan bawaan dari lahir. “Anak ini lahir normal. Saat berumur lima bulan, Septa mengalami panas tinggi sampai kejang-kejang. Kami langsung membawanya ke dokter di Sragen. Anak ini langsung diinfus dan disuntik tiga kali sehari di bagian pantatnya. Padahal baru berumur lima bulan,” kisah Paniyem.

Advertisement

Sepulangnya dari Sragen kondisi Septa memang tidak panas lagi. Tapi lemas tak bertenaga dan kurus. Kaki kiri dan kananya pun tak sama. Kaki kiri lebih pendek daripada kaki kanan. Septa hanya bisa duduk di kursi roda bantuan Dinas Sosial Sragen saat bermain dengan kakaknya yang baru duduk di bangku Kelas I SD. “Saya tidak tahu penyebab panasnya anak ini. Saya sampai mengira penyebab lumpuhnya anak ini karena kebanyakan obat. Tapi dari dokter pernah berkata, kalau pun anak ini sembuh tetap akan cacat. Ternyata benar,” ujarnya.

Selama dua tahun terakhir, Septa mendapatkan bantuan dari Pemkab Sragen senilai Rp10.000/hari atau Rp300.000/bulan. Bantuan sosial itu diberikan dengan cara dirapel beberapa bulan tertentu, kadang tiga bulan sekali, kadang empat bulan atau lima bulan sekali tidak tentu. “Bulan ini saja belum turun. Mungkin bulan-bulan yang akan datang akan turun,” imbuhnya.

Paniyem sedikit bisa membantu suaminya mencari nafkah keluarganya ketika Septa ada yang menjaganya, yakni ketika anaknya yang keempat pulang dari sekolah. Untuk menambah penghasilan, Sukiyo dan Paniyem memelihara kambing.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif