SOLOPOS.COM - Perajin batik, Ny. Tri saat menggambar pola batik tulis di rumah produksi batik Kedung Gudel milik Agus Samiyono Selasa (19/7/2022). (Solopos.com/ Tiara Surya Madani)

Solopos.com, SUKOHARJO – Desa Kenep, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, menjadi pusat penghasil produk home industry atau industri rumahan.

Salah satunya yakni pusat produksi batik. Salah seorang pemilik usaha batik, Agus Samiyono, Selasa (19/7/2022), menerangkan rumah produksinya bangkit kembali setelah pandemi.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Agus mengatakan sejauh ini pemerintah memberikan dukungan untuk pengembangan promosi. Permasalahan muncul yakni banyaknya batik impor. Akhirnya sekadar bertahan tanpa bisa mengembangkan diri secara maksimal.

Mereka juga berupaya melakukan promosi online misalnya melalui Instagram @kedunggudelbatik.

Agus sudah lama menjalankan rumah produksi batik. Laki-laki generasi ke tiga itu mendapatkan ilmu membatik dari orang tua.

Baca juga: WISATA SUKOHARJO: Kelurahan Kenep Diproyeksikan Jadi Desa Wisata

“Asal mula rumah produksi saya turun temurun dari orang tua, dari mbah-mbah kita itu memang pembatik semua. Saya memang generasi yang ke tiga,” kata Agus.

“Saya merintisnya [batik] sendiri, tapi dari bekal ilmu turun temurun. Keluarga kita memang dari keluarga batik. Dari kakak, om, sama anaknya rata-rata di bidang batik semua yang asli dari daerah ini,” tambah Agus.

Ia mengatakan usaha batik yang dijalankan masih prospektif dan berjalan sesuai dengan dinamika aktivitas masyarakat.

“Untuk prospektif [usaha batik] memang iya, karena dari dulu sampai sekarang terus berjalan. Terutama yang tradisional. Yang batik moderen pun masih berjalan juga,” kata Agus.

“[batik moderen] sesuai dengan perkembangan zaman, sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk, sama wilayah pemasaran,” tambahnya lagi.

Baca juga: Asale Batik Girilayu Karanganyar, Berawal dari Praja Mangkunegaran Solo

Pemilik rumah usaha Batik Kedung Gudhel itu menceritakan sempat terjadi penurunan jumlah produksi karena pandemi. Ia sempat menghentikan produksi sekitar 1,5 tahun.

“Waktu pandemi kemarin sempat henti produksi batik kurang lebih 1,5 tahun. Libur sama sekali. Jadi kita makan mengandalkan bantuan dan menjual sisa produksi sebelumnya. Produk yang ada kita jual selakunya,” curhat Agus.

Produksi kembali berjalan setelah pandemi usai. Namun hanya beberapa jenis batik yang bertahan.

“Rumah produksi saya sebetulnya menghasilkan banyak batik, namun beberapa berhenti karena kemarin waktu dilanda covid [Covid-19] mengalami goncangan luar biasa,” kata Agus.

“Tapi sampai sekarang, nyatanya kita masih bisa berjalan. Entah itu batik tradisional full tulis, full handmande, cap kombinasi tulis, dan printing. Saya kira ke depan masih prospektif terus,” tambah Agus.

Baca juga: Tahukah Anda? Ini 5 Perbedaan Batik Solo dan Jogja

Laki-laki tersebut memasarkan batik produksinya ke luar Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Namun untuk lokal presentasinya kecil. Rata-rata konsumen berasal dari anak muda dan pegawai yang dibuat seragam maupun pembeli eceran.

“Harga batik tulis kisaran Rp450.000, untuk cap kombinasi antara Rp135.000-Rp160.000,” jelasnya menambahkan. Agus mengaku pemerintah cukup memiliki peran dalam membantu usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) masyarakat Desa Kenep.

Terutama produsen batik dengan menggelar pameran, menyediakan perbankan, serta memberikan pemodalan. Permasalahan yang muncul terkait pemasaran yang bersaing sengan batik impor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya