SOLOPOS.COM - Para pembatik disabilitas di Batik Toeli, Pajang, Laweyan, Solo, Senin (6/11/2023). (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO–Batik Solo bertransisi dari awalnya dibuat oleh para pembatik dari Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran hingga saat ini sudah menjadi karya kontemporer yang dapat dipelajari semua orang.

Transisi ini juga berhasil melestarikan bahkan mengembangkan batik Solo agar terus relevan sebagai produk kreativitas kota maupun bagian dari industri. Jika jeli, awalnya batik Solo memiliki motif dan corak yang pakem dan khas dengan tradisionalitasnya.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Namun, kini batik Solo memiliki banyak variatif yang lahir dari kreativitas dan kepekaan para pembatik. Salah satu bukti dari perkembangan ini ada di Batik Toeli yang berada di Kampung Batik Laweyan Solo.

Nama Batik Toeli diambil dari kata tuli karena semua pembatik di rumah batik tersebut merupakan penyandang disabilitas.

Manajer Operasional Batik Toeli, Muhammad Taufan Wicaksono, mengatakan Batik Toeli dikembangkan sebagai ruang para penyandang disabilitas untuk bereksplorasi tanpa memperhatikan pakem.

Saat Solopos.com berkunjung ke Batik Toeli di Jalan Parangkusumo, Laweyan, Senin (6/11/2023), hanya ada dua pembatik yang sedang membatik di bentangan kain putih berukuran 2 meter x 1 meter. Keduanya membatik di ruangan yang terpisah, dengan salah satunya membatik di lantai satu Batik Toeli sedangkan pembatik lainnya bekerja di lantai dua.

Mereka bekerja dalam diam tanpa banyak suara. Dalam senyap, kreativitas mereka disalurkan lewat canting menuju selembar kain putih. Sebentar-sebentar, mereka beristirahat sejenak untuk kemudian melanjutkan aktivitas pekerjaan tersebut.

Taufan menjelaskan Batik Toeli lahir dari pengembangan usaha Mahkota Batik dalam upaya pemberdayaan teman-teman disabilitas tuli terutama yang belum mempunyai pekerjaan.

“Batik Toeli berdiri awal 2020 dan bermula karena banyak sekali pekerjaan dari teman-teman tuli yang tidak berlanjut akibat PHK. Kami mendirikan ini fokusnya adalah memberdayakan teman-teman disabilitas sehingga mereka dapat berkarya, ternyata bertahan hingga 2023 dan malah memunculkan pakem baru di dunia batik kontemporer,” ujar Taufan saat diwawancara Solopos.com, Senin (6/11/2023).

Taufan mengaku awalnya ada empat pembatik disabilitas yang bekerja di Batik Toeli, dan mereka awalnya adalah pekerja konveksi tanpa keahlian membatik. Mereka memerlukan waktu sekitar setahun untuk berlatih membatik.

Dia melanjutkan pakem Batik Toeli yang memiliki corak warna cerah dan motif kontemporer justru dikembangkan oleh salah satu pembatik tertua di rumah batik tersebut.

“Namanya Pak Edi, dia yang awalnya pekerja konveksi malah justru mengembangkan motif-motif baru dan menjadi pakem di Batik Toeli ini. Namun, karena dia terkena penyakit dia tidak bisa lagi bekerja dan akhirnya pakemnya kami ajarkan ke pekerja lain,” ujar Taufan.

Pakem yang berkembang di Batik Toeli tersebut memiliki corak yang berbeda dengan batik Solo pada umumnya, yaitu pemilihan warna-warna yang bebas tidak hanya terpaku warna cokelat dan hitam. Motif-motif yang lahir juga memiliki ketegasan tekstur berbentuk abstrak sehingga memberi makna tersendiri.

Taufan mengatakan kebanyakan batik yang dibuat di Batik Toeli memang merupakan batik tulis dan untuk hasil kerajinan tersebut dijual dengan harga Rp700.000 hingga Rp1.000.000 per kainnya.

Dia mengakui komunikasi menjadi salah satu kendala dalam bekerja bersama teman-teman disabilitas tuli. Hal ini karena maksud yang dia sampaikan terkadang tidak diterima oleh para pekerjanya. Namun, hasil pekerjaan mereka tetap dihargai dengan dipromosikan lewat media sosial Batik Toeli.

Keterbatasan komunikasi juga terasa saat pekerja Taufan mengajaknya berbicara, karena maksudnya kurang tersampaikan dan ada sedikit ketidakpahaman pada saat itu. Selain pakaian dan kain batik, produk-produk Batik Toeli lainnya adalah kipas batik, tas batik, serta produk-produk lainnya.

Perkembangan dan pelestarian batik di Kecamatan Laweyan tidak hanya dilakukan di Kelurahan Laweyan saja, tetapi juga di tiga kelurahan lain, antara lain Sondakan, Pajang, dan Bumi.

Camat Laweyan, Endang Sabar Widiasih, mengatakan meskipun batik kontemporer juga mulai ramai, Laweyan akan mengembangkan kembali batik lawasan sesuai pakem Gagrak Surakarta.

“Kalau di skala industri, pengembangan batik di Kecamatan Laweyan paling banyak malah di Sondakan dan Bumi. Nah sekarang kami juga hendak mengembangkan batik pola-pola lawasan termasuk motif-motifnya agar tetap lestari serta dikenal masyarakat,” ujar Endang saat dihubungi Solopos.com, Senin (6/11/2023).

Kreativitas yang dikembangkan di Laweyan tidak terbatas batik saja. Endang menjelaskan jika Laweyan masih memiliki perkembangan kuliner khas di Sondakan, serta kerajinan memanfaatkan sisa batik agar menjadi produk-produk baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya