SOLOPOS.COM - Dari kiri Direktur Fespin, Heru Mataya; Penyair, Joko Pinurbo; Budayawan, Sujiwo Tejo; Perwakilan penerbit Viola Publishing, Inez; dan Sastrawan, Kurnia Effendi dalam bedah buku Sepayung Sebumi di Balai Kota Solo, Minggu (10/9/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—Bedah buku Sepayung Sebumi, Kumpulan Puisi dan Cerpen yang diluncurkan dalam serangkain Festival Payung Indonesia (Fespin) ke-10 di Pendapi Gede Balai Kota Solo, Minggu (10/9/2023) dihadiri puluhan orang.

Bedah buku itu dibuka pembacaan puisi oleh Budayawan, Sujiwo Tejo. Dalam puisinya itu dia menyinggung soal pencemaran lingkungan dan kerusakan alam karena ulah manusia. 

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

“Nanti pas Elon Musk ke mars. Baca Puisi di mars, kongko-kongko di mars, di kafe-kafe mars. Aku masih di bumi bareng Karlina Supelli ahli bintang-bintang….// Karlina lalu membesar, menjadi ahli bintang-bintang, tetapi tatap hidupnya ingin di bumi, cuci piring di bumi, sisa-sisa pesta para pencemar//,” baca dia.

Lalu Penyair Indonesia, Joko Pinurbo membagi imajinasinya mengenai payung. Ketika dirinya mendengar kata payung, dia malah kembali ke kenangan masa kecil yang bermain hujan bersama payung.

“Saya justru melihatnya anak-anak hujan-hujanan sambil memainkan payung. Artinya payung ini mengingatkan kita bahwa kita sering kehilangan jiwa anak-anak. Di tangan anak-anak payung justru menjadi benda yang sangat mengasyikkan,” kata pria yang biasa disapa Jokpin itu.

Lalu Jokpin menafsirkan payung mengajarkan kita untuk memiliki sifat meneduhkan dan menaungi, terutama sesama manusia. 

“Kita sering gagal menggali [makna] payung, bukan saling mengayomi atau meneduhkan, malah saling membakar,” kata dia.

Maka, menurut dia, Fespin dan peluncuran buku tahun ini sangat relevan merespons hubungan antar warga negara hari-hari ini yang cukup panas, lantaran segera masuk tahun politik.

“Tugas para seniman menghidupkan kembali bahwa kita sebetulnya punya imajinasi mengenai payung, mengenai sikap saling meneduhkan, saling melindungi, dan saling mengayomi,” kata dia.

Lebih lanjut, Jokpin juga mengingatkan bahwa bumi yang ditinggali saat ini semakin tidak nyaman. Terutama karena kerusakan lingkungan yang terjadi hari-hari ini. Entah itu karena penebangan pohon untuk pembukaan lahan atau polusi udara di kota besar seperti Jakarta.

“Bahkan Juni kemarin tercatat sebagai bulan paling panas dalam sepanjang sejarah dunia. Oleh karena itu imajinasi mengenai payung, bagi saya bisa mengingatkan kita untuk segera melakukan pertobatan ekologis,” kata dia.

Sastrawan yang juga Editor Buku Sepayung Sebumi, Kurnia Effendi menambahkan payung secara fungsi itu melindungi dari cuaca alam seperti panas dan hujan. Sedangkan secara simbolik payung menunjukkan kewibawaan, kekuasaan, dan pengayoman. 

Dia mengatakan jika tahun lalu Fespin merilis buku kumpulan esai dari para sejarawan Indonesia yang dikawal langsung oleh Sejarawan Peter Carey. Tahun ini giliran para sastrawan dan budayawan yang memberi makna tentang apa itu payung.

“Paling tidak buku ini mengajak kita untuk tidak merusak bumi ini. Karya cerpen dan puisi di dalam buku ini mewakili berbagai varian dan perspektif tentang payung secara filosofi dan secara simbolik,” kata dia.

Direktur Fespin, Heru Mataya, mengatakan memang setiap tahun pihaknya terus melahirkan satu buku sebagai bentuk kepedulian literasi. Dia ingin mengajak budayawan, seniman, atau masyarakat untuk menulis fiksi yang berkaitan dengan payung.

“Tahun ini formatnya dalam bentuk puisi, ada 26 penyair dan 34 penulis cerpen untuk menuliskan pandangan dia tentang payung dari pemahaman mereka,” kata dia, ketika ditemui Solopos.com, Minggu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya