SOLOPOS.COM - Abdi dalem mementaskan tari Bedhaya Ketawang saat Tingalan Jumenengan PB XIII di Sasana Sewaka Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sabtu (22/4/2017). (M Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO–Tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu tarian yang hanya di pertunjukan saat penobatan kenaikan tahta raja (Tinggalandalem Jumenengan Paku Buwono) di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Dilansir dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana/kraton.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Sedangkan ketawang berarti langit, identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan.

Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian sakral yang suci karena menyangkut Ketuhanan, di mana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut sejarahnya, tarian ini berawal ketika Sultan Agung memerintah kesultanan Mataram pada 1613 hingga 1645.

Suatu ketika, Sultan Agung sedang melakukan upacara meditasi, kemudian ia mendengar suara senandung dari langit, dan Sultan Agung tercengang oleh suara tersebut.

Ia kemudian memanggil pengawalnya dan memberi tahu mereka apa yang telah terjadi.

Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut. Kemudian menciptakan sebuah tarian yang diberi nama Bedhaya Ketawang karena terinspirasi oleh pengalaman gaib yang dialaminya.

Ada juga versi yang lain yang mengisahkan bahwa dalam pertapaannya, Panembahan Senapati bertemu dan bercinta dengan Ratu Kencanasari atau yang dikenal juga dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.

Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755 Paku Buwono III bersama Hamengkubuwono I melakukan pembagian harta warisan Kesultanan Mataram, yang sebagian menjadi milik Keraton Kasunan Surakarta sebagian lainnya menjadi milik Kasultanan Yogyakarta.

Akhirnya, tari Bedhaya Ketawang menjadi milik Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan dalam perkembangannya sampai sekarang ini Tari Bedhaya Ketawang masih tetap dipertunjukkan saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan takhta Sunan Surakarta.

Tari Bedhaya Ketawang ini menggambarkan hubungan asmara Kanjeng Ratu Kidul dengan raja mataram.

Semua itu diilustrasikan dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sampur dan lain sebagainya.

Kata-kata yang terkandung dalam lagu pengiringnya menggambarkan curahan hati Kanjeng Ratu Kidul kepada sang raja.

Tarian ini biasanya dilakukan sembilan penari wanita yang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa atau disebut dengan Nawasanga.

Menurut kepercayaan masyarakat, setiap tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan maka dipercaya Kanjeng Ratu Kidul akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari kesepuluh.

Oleh karena itu tarian ini dianggap sakral, ada beberapa syarat yang harus di miliki setiap penarinya.

Syarat yang paling utama yaitu para penari harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari harus meminta izin kepada Kanjeng Ratu Kidul lebih dahulu dengan melakukan caos dhahar (cara untuk menghormati leluhur) di panggung sangga buwana Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Selain itu, para penari harus berpuasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan.

Dalam pertunjukannya, busana yang digunakan penari dalam Tari Bedhaya Ketawang adalah busana seperti yang digunakan para pengantin perempuan jawa, yaitu Dodot Ageng atau biasa di sebut Basahan.

Pada bagian rambut menggunakan Gelung Bokor Mengkurep. Untuk aksesori perhiasan yang di gunakan di antaranya centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha (rangkaian bunga yang di kenakan pada gelungan, yang memanjang hingga dada bagian kanan).

Pada awalnya Bedhaya Ketawang dipertunjukkan selama dua setengah jam. Tetapi, sejak zaman Paku Buwono X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi berdurasi satu setengah jam.

Musik yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut Gending Ketawang Gedhe yang bernada pelog.

Perangkat gamelan yang digunakan untuk membawakan gending ini terdiri dari lima jenis, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak, yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending.

Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, laras (nada) gending berganti menjadi nada slendro selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke laras pelog hingga tarian berakhir.



Pada bagian pertama tarian diiringi dengan tembang Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan rebab, gender, gambang, dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya