SOLOPOS.COM - Ratusan mahasiswa dari Jogja mendengarkan pemaparan terkait sejarah angkringan oleh Pokdarwis Ngerangan, Kecamatan Bayat, Klaten, di Joglo Tumiyono, Rabu (18/10/2023). (Istimewa/dokumentasi Pokdarwis Ngerangan)

Solopos.com, KLATEN — Ratusan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Ambarrukmo (Stipram) Yogyakarta mengunjungi Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Klaten, Rabu (18/10/2023). Kedatangan mereka untuk mempelajari sejarah angkringan.

Ada 268 mahasiswa serta 10 dosen pendamping yang ikut dalam kegiatan yang digelar di Joglo Tumiyono tersebut. Kegiatan itu menjadi rangkaian kegiatan ke Rawa Jombor serta eduwisata di Joglo Tumiyono.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Selain terkait sejarah angkringan, ratusan mahasiswa itu mendapatkan edukasi serta pelatihan membuat jamu dari Kelompok Wanita Tani (KWT) Matahari, Desa Jarum, Kecamatan Bayat.

“Kegiatan berlangsung selama satu hari. Untuk pendamping dari KWT Matahari Jarum dan dari Pemdes Ngerangan. Di kegiatan itu, dosen dan mahasiswa mendapatkan informasi terkait sejarah detail angkringan,” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Ngerangan, Suwarna, saat berbincang dengan Solopos.com, Kamis (19/10/2023).

Suwarna mengatakan selama ini banyak yang berdatangan ke Ngerangan, Klaten, untuk belajar tentang sejarah angkringan. Selain dari perguruan tinggi, mereka yang berdatangan ke Ngerangan berasal dari siswa sekolah mulai dari SD hingga SMP.

Ngerangan merupakan salah satu desa di Klaten yang berada di wilayah pelosok dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Gunungkidul, DIY. Ngerangan dikenal sebagai desa cikal bakal angkringan.

Dari sejarah yang ditelusuri warga Ngerangan, Klaten, angkringan bermula ketika salah satu warga bernama Karso Djukut pergi ke Kota Solo pada 1930-an.

Di wilayah Kecamatan Laweyan, Solo, Djukut bertemu juragan terikan bernama Wono. Awalnya Djukut diminta merawat kerbau dan bertani.

Djukut pun menjadi anak buah kesayangan Wono dan diberikan kesempatan berjualan terikan atau makanan terik dengan memikul tumbu dan tambir pada 1940.

Djukut berinisiatif menambah cerek minuman dengan menu kopi dan jahe pada 1943. Warga Ngerangan, Wiryo Je, menyusul Djukut ke Solo dan menjadi prembe atau anak buahnya mulai 1950.

Wiryo disebut-sebut menjadi penemu racikan jahe serta teh khas angkringan Bayat dengan mengoplos berbagai merek teh yang hingga kini masih banyak diterapkan pedagang angkringan.

Cara berjualan angkringan mulai berubah pada 1975 dari awalnya dipikul berganti menggunakan gerobak dorong dan kini menetap di satu lokasi.

Seiring perkembangannya, semakin banyak warga yang tertarik untuk menjadi pedagang angkringan. Angkringan menjadi roda penggerak ekonomi mayoritas warga Ngerangan, Klaten, sampai hari ini.

“Saat ini ada 700-an keluarga atau sekitar 1.100 warga yang menggeluti usaha angkringan. Itu 70 persen dari total warga Ngerangan. Mereka menyebar ke seluruh Pulau Jawa dan kota-kota besar di luar Jawa seperti Medan, Bangka Belitung, serta Batam,” kata Suwarna.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya