SOLOPOS.COM - Minuman kopi. (freepik)

Solopos.com, BOYOLALIBoyolali dikenal sebagai daerah penghasil kopi yang khas, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial Belanda kala itu menjadikan Boyolali sebagai wilayah perkebunan kopi karena letaknya yang berada di lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Dari data yang dihimpun Solopos.com, biji kahwa kali pertama dibawa bangsa Belanda ke Boyolali sekitar 1935, tepatnya ke wilayah yang sekarang menjadi Dukuh Plalangan, Desa Lencoh, Kecamatan Selo.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Di dukuh yang berjarak kurang lebih 5 kilometer (km) dari puncak Merapi itu dengan ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu, orang Belanda menyulap lahan seluas 2.000 hektare menjadi perkebunan kopi.

Dengan ketinggian itu, kopi yang dihasilkan perkebunan di Lencoh, Selo, Boyolali, itu memiliki cita rasa tersendiri yang unik dan khas. Umumnya kopi ditanam di lahan dengan ketinggian rata-rata 1.200 mdpl.

Namun, monopoli Belanda atas konsumsi dan pasar kopi kala itu membuat warga lokal jengkel. Para buruh kopi yang merupakan penduduk lokal dengan sengaja menebang pohon-pohon kopi dan hanya menyisakan lima pohon.

Kelima pohon itu tumbuh secara liar sebelum akhirnya dirawat oleh Suwondo, petani lokal Lencoh. Suwondo mulai membudidayakan kopi liar itu pada 2013 hingga kini dikenal sebagai kopi liar Lencoh.

1. Kopi Liar Lencoh

Kopi liar peninggalan Belanda itu dikembangkan oleh Suwondo dengan sistem stek hingga menjadi 50-an pohon. Kopi varietas Belanda di Lencoh, Boyolali, itu punya ciri khas di antaranya tinggi pohon sekitar 6 meter, daunnya hijau muda tapi tak terlalu lebat.

kopi khas boyolali
Kopi Lencoh. (Dok Solopos)

Ukuran bijinya juga lebih besar ketimbang jenis kopi yang juga dikembangkan oleh Suwondo, yaitu Arabica varietas Kartika Katimur. Namun, jumlah biji kopi yang dihasilkan kopi Belanda lebih sedikit karena jumlah ranting yang juga lebih sedikit.

Dampak Ekonomi bagi Petani

“Kopi Belanda jumlah ranting tiap satu cabang maksimal empat. Ranting yang terlalu banyak akan berpengaruh pada rasa,” ujar Wondo saat berbincang dengan Solopos.com di kebunnya, Januari 2019 lalu.

Khusus kopi Belanda, Wondo memilahnya menjadi dua jenis, yaitu Arabica Lanang dan Arabica Janda. Keduanya dibedakan dari karakteristik biji. Satu pohon kopi Belanda biasanya menghasilkan 7 kg biji sekali panen. Sementara kopi lokal menghasilkan sekitar 10 kg biji.

Kopi Belanda khas Lencoh, Boyolali, itu dipasok ke sejumlah daerah di Soloraya, Jawa, Bali, hingga Maluku. Para petani pun turut merasakan dampak secara ekonomi.

2. Kopi Lereng Merbabu

Kopi Merbabu berjenis Arabica dan tumbuh pada lahan di atas 1.000 meter. Dibanding jenis Robusta, kopi Arabica memiliki rasa dan aroma lebih kuat serta variatif. Rasa dan aroma itu membuat Kopi Merbabu menjadi favorit dinikmati secara original.

Dibandingkan jenis kopi lainnya, Kopi Merbabu memang kalah tersohor. Padahal kopi jenis ini telah melalui uji cita rasa di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (LP Puslitkoka) Jember, Jawa Timur.

Pengujian dilakukan Seto Nur Kismoyo, seorang barista asal Jogja sekaligus praktisi kebun kopi yang mengembangkan produk Kopi Merbabu khas Boyolali sejak 2015 lalu.

Hasil uji laboratorium menunjukkan Kopi Merbabu memiliki nilai 86 atau berpredikat excellent dalam cita rasa. Indikator penilaian di antaranya meliputi aroma, rasa, dan kadar keasaman.

Dicampur Kelapa Jadi Berasa Kopra

“Beberapa kafe di Jogja dan Soloraya sudah menggunakan kopi merbabu sebagai single origin [kopi original] yang dijual kepada pelanggan, ini jadi bukti kalau kopi dari Merbabu juga tak kalah,” ujar Seto dalam pelatihan di Ngagrong, Gladagsari, Boyolali, akhir 2019 lalu.

Kopi Barendo Boyolali khas
Salah satu pemilik kebun kopi di Banyuanyar menunjukkan biji dan daun kopi barendo atau kopi nangka, Kamis (27/11/2022). Ia mengatakan aroma kopi barendo seperti nangka. (Solopos.com/Ni’matul Faizah)

3. Kopi Barendo

Kopi Barendo dikembangkan oleh warga Desa Banyuanyar, Ampel, Boyolali. Kopi ini berjenis Excelsa dengan cita rasa yang unik yaitu beraroma mirip buah nangka.

Karena itu pula kopi Barendo juga disebut kopi nangka. Nama barendo baru ada setelah berakhirnya penjajahan Belanda atau setelah Indonesia merdeka.

Barendo merupakan singkatan dari bare londo atau setelah zaman Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, kopi dengan aroma khas di Banyuanyar, Boyolali, ini dikenal dengan nama legandar.

Selain beraroma mirip buah nangka, ciri lain kopi ini yakni bijinya lebih besar dibandingkan kopi jelas Robusta atau Arabica. Kini, kopi Barendo menjadi salah satu produk unggulan dan andalan Desa Banyuanyar yang sudah ditetapkan menjadi desa wisata dengan nama Kampus Kopi Banyuanyar.

4. Kopi Klopo

Kopi klopo merupakan minuman khas Dukuh Wonosegoro, Desa/Kecamatan Cepogo, Boyolali. Kopi ini diperkenalkan saat acara Sarungga Fest selain untuk memperingati 1.122 tahun Prasasti Sarungga, Mei 2023 lalu.

Cara pembuatan kopi klopo dimulai dari biji kopi lokal setempat dan kelapa yang telah diiris dijemur terlebih dahulu. Setelah itu, kopi dan kelapa digongso atau disangrai sampai berwarna hitam.

Saat menggongso, kopi terlebih dulu dimasukkan baru setelah beberapa saat kelapanya dicampurkan. Setelah menghitam, kopi dan kelapa yang telah disangrai kemudian ditumbuk bersama lalu diayak baru diseduh.

Aroma kopi klopo seperti kopra atau daging buah kelapa yang dikeringkan, manis, gurih, dan baunya khas.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya