Soloraya
Minggu, 30 Oktober 2011 - 19:05 WIB

Bersepeda tua seraya menghayati kebesaran masa lalu

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - sepeda

JELAJAH KOTA PUSAKA -- Para peserta Jelajah Kota Pusaka melintasi Jalan Slamet Riyadi, Solo, Minggu (30/10/2011). Acara ini diikuti 1.500 peserta dari berbagai daerah di Indonesia yang menggunakan sepeda dan kostum bergaya kuno. (JIBI/SOLOPOS/Burhan Aris Nugraha)

(Solopos.com) – “Kring…kring…kring…ayo, tarik!!” pekik orang-orang yang menunggang sepeda tua dengan busana bergaya tempo doeloe itu. Mereka adalah para peserta kegiatan Jelajah Kota Pusaka, Minggu (30/10/2011) pagi.
Advertisement

Jelajah Kota Pusaka pun dimulai dari Keraton Kasunanan Surakarta, sebuah kawasan yang menjadi salah satu cikal bakal lahirnya Kota Solo. Iring-iringan sepeda lalu bergerak ke barat melintasi gapura lengkung peninggalan PB X dengan salah satu ikon Kota Solo, Pasar Klewer, mendampinginya. Roda sepeda terus berputar hingga melintasi kawasan Coyudan, Pasar Kembang, Baron, dan tibalah di Kampung Batik Laweyan.

Di sanalah, para onthelis diajak mengingat kejayaan pedagang batik Jawa di penghujung abad ke-19. Di kawasan yang juga menjadi cikal bakal lahirnya Sarekat Dagang Islam itu, yang merupakan organisasi bercorak Islam-Nasional pertama di Indonesia, berderet bangunan megah dengan arsitektur cantik yang terlindungi regol besar. “Ooo, ini ta namanya Kampung Batik Laweyan itu,” celetuk seorang onthelis dari Sidoarjo.

Dari Laweyan, rombongan berbelok menuju persimpangan Purwosari, sebuah nama kawasan yang mengingatkan akan kebesaran nama Stasiun Purwosari yang dibangun 1875. Di kawasan itu pula, cikal bakalnya kota perdagangan dan industri lahir di Solo. Perjalanan berlanjut menyusuri Jalan Slamet Riyadi yang disesaki para warga yang mengunjungi area car free day. Dipimpin Walikota Solo, Joko Widodo yang berkostum lurik Jawa, para onthelis kuno tak henti melambaikan tangan sebagai simbol persaudaraan. Mereka yang datang dari berbagai daerah di penjuru nusantara itu serasa menjadi bagian tak terpisahkan dari Kota Solo ini.

Advertisement

Loji Gandrung, adalah bangunan berikutnya yang menjadi tujuan para penjelajah Kota Pusaka. Di gedung putih bergaya Eropa itu, para onthelis kembali diajak membayangkan bahwa rumah yang dibangun di era PB IV itu merupakan tempat para tuan Belanda yang gandrung berdansa berpasang-pasangan.

Masih di Jalan Slamet Riyadi, berderet banyak bangunan warisan budaya yang diibaratkan bisa bercerita dengan sendirinya. Ada Taman Sriwedari yang dulu menjadibonraja atau tempat rekreasi milik raja, namun juga terbuka bagi rakyat Solo. Di timurnya ada Radya Pustaka, sebuah museum tertua di Nusantara yang dibangun oleh KRA Sosrodiningrat pada 1890.

Tiba di perempatan Pasar Pon, para onthelis kembali diajak menikmati pemandangan indah di kawasan Ngarsopuran, dilanjutkan mengitari kompleks Pura Mangkunegaran. Perjalanan akhirnya dilanjutkan ke Pasar Legi, Monumen Banjarsari, Kampus UNS, dan melintasi bawah jembatan Jurug menuju Jalan Juanda. Sebelum kembali ke Alun-alun Utara, tentu saja para penjelajah Kota Pusaka menikmati pemandangan pusat ekonomi rakyat kecil, yakni Pasar Gede yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Kota Solo. “Wah, Solo memang kaya heritage. Salut deh buat Solo,” kata Sumarno, peserta dari Mojokerto, Jawa Timur.

Advertisement

Aries Susanto

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif