Soloraya
Jumat, 11 November 2022 - 19:44 WIB

Berusia 104 Tahun, Kakek di Sragen Ini Rasakan Hidup Dijajah Belanda & Jepang

Tri Rahayu  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mbah Amat Kirom, 104, (kanan) bercerita tentang perjalanan hidupnya di zaman Belanda dan Jepang kepada wartawan di halaman depan rumahnya di sebelah barat Balai Desa Pare, Kecamatan Mondokan, Sragen, belum lama ini. (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Di Sragen, ada seorang kakek-kakek yang berumur sangat panjang, yakni 104 tahun. Namanya Amat Kirom. Ia tinggal di Desa Pare, Kecamatan Mondokan, Kabupaten Sragen.

Amat lahir pada 1918. Dengan usianya yang panjang itu, ia pernah merasakan pahitnya hidup dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang.

Advertisement

Amat Kirom berkisah tentang sejarah hidupnya kepada wartawan belum lama ini. Ia didampingi putranya yang kini menjadi Kepala Desa Pare, Samdani. Bila menghitung dari tahun lahirnya itu, Mbah Amat Kirom sekarang berumur 104 tahun.

“Saya sudah mengalami masa-masa zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Pada saat zaman Jepang itulah saya sudah menikah. Rekasane wong urip kuwi ya jaman Jepang, suwene 3,5 tahun [sengsaranya orang hidup itu ya zaman Jepang, lamanya 3,5 tahun]. Wong lanang katokan bagor, wong wedok tapihan karet. Larang sandang, larang pangan. [Orang laki-laki pakai celana bagor, orang perempuan pakai bawahan karet. Sandang mahal, pangan mahal],” ujar Amat.

Advertisement

“Saya sudah mengalami masa-masa zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Pada saat zaman Jepang itulah saya sudah menikah. Rekasane wong urip kuwi ya jaman Jepang, suwene 3,5 tahun [sengsaranya orang hidup itu ya zaman Jepang, lamanya 3,5 tahun]. Wong lanang katokan bagor, wong wedok tapihan karet. Larang sandang, larang pangan. [Orang laki-laki pakai celana bagor, orang perempuan pakai bawahan karet. Sandang mahal, pangan mahal],” ujar Amat.

Baca Juga: Jejak Keluarga Nyi Ageng Serang di Rumah Kuno Kades Pertama Sono Sragen

Amat mengaku menjadi salah satu prajurit saat perang melawan Jepang dan Belanda. Dia masih ingat saat melawan Jepang senjatanya hanya bambu runcing yang diberi doa oleh kiai dari Parakan sehingga bisa menang melawan Jepang.

Advertisement

Jaman londo kui luwih kepenak tinimbang jaman Jepang. Bareng Jepang lungo, Londo arep mrene menah. Saben kuta ana londo. Wektu kui aku melu perang. Aku tukang ngampal. [Zaman Belanda itu lebih enak daripada zaman Jepang. Setelah Jepang pergi, Belanda bermaksud menjajah lagi. Setiap kota ada orang Belanda. Waktu itu saya ikut perang. Saya sebagai tukang mengebom],” ujarnya.

Supaya tentara Belanda tidak masuk Mondokan, Amat mengatakan jembatan di Gawan dulu pernah putus dibom. Kemudian jembatan depan Kecamatan Mondokan juga dibom tetapi tidak sampai putus.

Baca Juga: Wow! Ada Amben Berumur 214 Tahun di Rumah Kuno Kades Pertama Sono Sragen

Advertisement

Aku wis pesen. Jembatan ngarep kecamatan kae dibom nanging mung diuneke tok, mula jembatan ora tugel. Ora-orane Londo mlebu Mondokan [Saya sudah pesan. Jembatan depan Kecamatan [Mondokan] itu dibom tetapi hanya disuarakan maka jembatan tidak putus. Tidak khawatir Belanda masuk Mondokan],” jelasnya.

Meskipun umurnya lebih dari satu abad, pendengaran Mbah Amat terbilang masih baik. Pun demikian dengan penglihatannya yang masih tajam. Bahkan Mbah Amat masih bisa berjalan ke mana-mana meski dibantu tongkat.

Saat zaman Belanda, Amat pernah bekerja menanam serat nanas untuk disetorkan di pabrik di Desa Kedawung, Mondokan, Sragen. Serat nanas itulah dibuat menjadi bagor atau karung goni.

Advertisement

Baca Juga: Bangunan di Sragen Ini Jadi Saksi Bisu Siasat Serangan Umum 4 Hari di Solo

Amat masih ingat kebun serat nanas itu berada di belakang kantor Kecamatan Mondokan sekarang. Saat bekerja, Amat mendapatkan upah setiap pekan sekali namun tak ingat berapa nilainya. Dia hanya ingat uangnya berupa uang tembaga. Serat nanas itu diangkut menggunakan gerobak sapi ke pabrik.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif