SOLOPOS.COM - Petani sorgum, Surono, 46, memeriksa tanaman sorgumnya di Kelurahan Mojopuro, Wuryantoro, Wonogiri, Kamis (7/9/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Sorgum bisa menjadi sumber pangan alternatif di tengah minimnya produksi dan mahalnya harga beras akibat musim kemarau seperti saat ini. Sorgum juga memiliki sejumlah potensi dan keunggulan jika digarap secara serius.

Dalam kebijakan dan program pengembangan sorgum Indonesia, sorgum dinilai potensial untuk subsitusi beras dengan kandungan gizinya yang tinggi. Sesuai Roadmap Sorgum 2022-2024 yang tertulis di laman tanamanpangan.pertanian.go.id, sasaran utama tanaman sorgum adalah food (makanan), feed (pakan ternak) dan fuel (bioetanol).

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Pada 2022, luas pertanaman sorgum di Indonesia mencapai 15.000 hektare (ha). Namun terjadi Automatic Adjusment (AA) sehingga alokasi diubah hanya menjadi 4.600 hektare. Kemudian pada 2023, pemerintah melakukan pengajuan alokasi seluas 100.000 ha melalui Anggaran Belanja Tambahan (ABT) 2023 dan Reguler seluas 15.000 ha.

Ada sejumlah kelebihan atau keunggulan tanaman sorgum dibandingkan tanaman lain seperti padi. Sorgum mudah ditanam di berbagai daerah dan kondisi tanah, tak butuh banyak air, biaya produksinya murah, perawatannya mudah, dan jarang terkena penyakit.

Keuntungan lainnya, tanaman bisa dipanen berkali-kali tanpa harus menanam dari awal. Sedangkan kandungan bioetanol pada tanaman sorgum bisa menjadi sumber energi baru dan terbarukan.

Di Wonogiri, ada beberapa daerah atau kecamatan yang potensial untuk budi daya sorgum. Daerah itu kebanyakan di wilayah selatan yang cenderung kering. Dari data Dinas Pertanian dan Pangan Wonogiri, daerah yang pernah dan/atau masih memproduksi sorgum di Wonogiri yaitu:

  1. Pracimantoro
  2. Giritontro
  3. Batuwarno
  4. Tirtomoyo
  5. Eromoko
  6. Wuryantoro
  7. Sidoharjo

Sayangnya saat ini tidak semua kecamatan itu konsisten menghasilkan sorgum, hanya Wuryantoro yang setiap tahun ada petani yang menanam sorgum. Akibatnya hasil panen sorgum dari tahun ke tahun tidak pernah stabil.

Luas Tanam dan Hasil Panen

Dinas Pertanian dan Pangan Wonogiri mencatat luas penanaman dan hasil panen sorgum paling banyak pada 2017 dan 2020. Pada 2017, luas tanam sorgum di Wonogiri mencapai 125 ha dengan hasil panen 304,73 ton.

Sedangkan pada 2o20, luas tanam sorgum mencapai 225 ha dengan hasil panen 534 ton. Berikut data lengkap luas tanam dan hasil panen sorgum dari 2017 sampai 2023:

  • 2017: luas tanam 125 ha, hasil panen 304,73 ton
  • 2018: luas tanam 96 ha, hasil panen 218 ton
  • 2019: luas tanam 87 ha, hasil panen 198 ton
  • 2020: luas tanam 225 ha, hasil panen 534 ton
  • 2021: luas tasnam 54 ha, hasil panen 130 ton
  • 2022: luas tanam 53 ha, hasil panen 185 ton
  • 2023: luas tanam 31 ha, hasil panen belum diketahui

Dari data itu terlihat, minat petani untuk menanam sorgum di Wonogiri masih kurang. Beberapa hal disebut menjadi kendala kenapa sorgum tak begitu menarik bagi petani.

Di antaranya tidak ada standardisasi harga yang membuat harga sorgum sangat tidak stabil. Selain itu sorgum sebagai sumber pangan belum menjadi budaya.

Sejauh ini, sorgum lebih banyak digunakan untuk bahan baku pakan ternak. Daya tahan sorgum dan masa penyimpanan yang singkat juga menjadi pertimbangan sendiri kenapa petani enggan menanam tanaman tersebut.

Kepala Bidang Produksi Dispertan dan Pangan Wonogiri, Ridwan Jauhari, mengakui luas tanam dan luas panen sorgum di Wonogiri, termasuk di Wuryantoro, tidak pernah stabil. Menurut dia, ada pola yang terus berulang soal pertanian sorgum ini.

Dia menjelaskan ketika harga sorgum tinggi, banyak petani yang berlomba-lomba menanam sorgum dengan harapan ketika mereka panen, harga masih tetap tinggi. Sayangnya sorgum ini masih bergantung pada hukum pasar.

Ketika produksi sorgum ini berlimpah dan dipanen secara masif, harga sorgum jatuh. Pada saat harga sorgum jatuh ini,  petani yang mau menanam sorgum lagi berkurang.

“Ketika petani yang sedikit ini panen, harga sorgum tinggi karena produksinya sedikit. Hukum pasar, sedikit barang, harga tinggi. Banyak barang harga rendah,” katanya saat diwawacarai Solopos.com, Kamis (7/9/2023).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya