Soloraya
Selasa, 21 Oktober 2014 - 03:31 WIB

Boyolali Marak Gelandangan Gangguan Jiwa

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi razia pengemis, gelandangan dan orang telantar (Dok/JIBI/Solopos)

Solopos.com, BOYOLALI—Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Boyolali mencatat sedikitnya telah menangkap 150 pengemis, gelandangan, dan orang terlantar (PGOT) dari kelompok penyandang gangguan jiwa sejak awal tahun hingga Oktober ini.

Kasi Pelayanan Rehabilitasi Sosial Dinsosnaketrans Boyolali, Ali Mukharom, mengatakan jumlah PGOT kelompok gangguan jiwa yang ditemukan di wilayah Boyolali tersebut merupakan yang terbanyak di antara kelompok PGOT lain, seperti orang yang hanya mengemis dan gelandangan.

Advertisement

“Kalau pengemis dan gelandangan rata-rata hanya 35 yang terjaring setiap tahun. Namun, untuk orang sakit jiwa di jalanan jumlahnya ratusan. Bahkan tahun lalu kami menjaring sekitar 200 orang PGOT kelompok gangguan sakit,” kata Ali saat dijumpai Solopos.com di ruang kerjanya, Senin (20/10/2014).

Ali mengatakan setelah melakukan razia, sesuai prosedur, Dinsosnakertrans Boyolali mengidentifikasi setiap PGOT kelompok gangguan sakit jiwa. Sebagaian besar PGOT lantas dikirim ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di Wedi, Kabupaten Klaten untuk mendapat pelayanan rehabilitasi.

“Istilahnya kami lihat tingkat kejiawaan atau kesadaran mereka. Jika di antara mereka ada yang bisa diajak berkomunikasi, kami mencoba untuk mencari tahu rumah untuk mengantar mereka pulang ke keluarga masing-masing. Apabila tidak [bisa diajak berkomunikasi] kami kirim ke RSJ,” ujar Ali.

Advertisement

Ali menambahkan razia yang dilakukan Dinsosnakertrans dan kerap dibantu pihak Satpol PP Boyolali, menyisir menyisir ke sejumlah titik yang dinilai ramai oleh aktivitas masyarakat, seperti pasar dan perkampungan.
Di tempat tersebut, lanjut Ali, PGOT kelompok gangguan jiwa secara otomatis mangkal untuk mencari makan dan minum.

“Kami menyeluruh ke seluruh kecamatan di Boyolali. Dari Ngemplak yang dekat Solo sampai Selo juga. Setelah kami lakukan identifitasi, sebagaian besar PGOT kelompok gangguan jiwa itu malah bukan asli dari Boyolali. Ada dari kota atau kabupaten lain, seperti Solo dan Sukoharjo. Ya, kami tidak tahu alasan mereka sampai sini [Boyolali],” imbuh Ali.

Penanganan PGOT di Boyolali secara umum, lanjut Ali, perlu keterlibatan masyarakat. Masyarakat bisa melaporkan setiap temuan PGOT ke pihak pemerintah kabupaten (Pemkab) Boyolali. Tugas Dinsosnakertrans, lanjut Ali, mengembalikan fungsi sosial bagi seluruh PGOT.

Advertisement

“Jika masih belum ada perkembangan setelah mendapat pelayanan sosial di RSJ Wedi, Klaten, PGOT kelompok gangguan jiwa tetap kami perjuangakan agar fungsi sosialnya kembali. Salah satu caranya dengan mengirim mereka ke balai rehailitasi tingkat provinsi di Semarang. Ya, meski di sana harus antre [masuk] dengan PGOT dari kota atau kabupaten lain,” ujar Ali.

Sementara itu, salah seorang warga Ngestiharjo RT 001/RW 015, Kelurahan Siswodipuran, Kecamatan/Kabupaten Boyolali, Menu, 50, mengatakan setiap pagi sedikitnya dia melihat dua sampai tiga orang PGOT berjalan di sekitar Jl. Nanas.

Salah satu di antara PGOT tersebut, menurut Menu, mengalami gangguan jiwa. “Ada orang yang mengemis dan juga orang gila. Saya mulai melihat mereka di pinggir jalan dan masuk di rumah-rumah kampung. Mereka juga ada yang sengaja ndodok [mengetuk] pintu sambil minta-minta. Kalau orang gila, paling hanya tiduran di sekitar rumah warga kampung,” kata Menu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif