SOLOPOS.COM - Para warga memanfaatkan ruang pertemuaan atau meeting room dengan fasilitas ber-AC untuk rapat di Lubby Cafe and Eatery Sragen, belum lama ini. (Istimewa/Ilham Kurniawan)

Solopos.com, SRAGEN—Banyaknya pelaku bisnis kuliner yang tumbuh pesat di Sragen menjadi tantangan tersendiri dalam berebut pelanggan. Mereka bertahan dengan menyediakan fasilitas live music dan meeting room yang nyaman serta menjaga kualitas layanan dan rasa.

Menjamurnya bisnis kuliner di Sragen didorong adanya budaya latah dalam berbisnis lantaran pangsa pasar yang luas.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Owner Locomotive Resto and Cafe Sragen, Ahmad Misbah, 32, saat berbincang dengan wartawan, pekan lalu, memilih menjaga kualitas pelayanan untuk menghadapi kompetitor.

Ia juga menyediakan fasilitas live music setiap malam dan variasi menu mulai dari menu Nusantara sampai menu western. Banyaknya resto dan kafe itu, bagi Misbah, disebabkan karena booming kafe dan resto sehingga banyak yang ikut-ikutan buka.

“Kafe dan resto baru itu muncul dengan menawarkan harga murah dengan fasilitas tempat yang nyaman. Kalau saya lebih membidik segmen keluarga. Harga pun tak berani naik. Kopi di tempat saya paling mahal Rp19.000/cangkir,” ujarnya.

Owner Kedai Mojo Kopi Sragen, Agung, juga bertahan menghadapi kompetitor dengan menjaga pelanggan loyal dengan terus meningkatkan kualitas pelayanan, rasa, dan harga. Dia melihat animo orang Sragen itu harga nomor satu.

Dia yakin setiap resto dan kafe di Sragen itu memiliki segmen sendiri-sendiri ada yang segmen menengah ke atas dan ada yang segmen menengah ke bawah.

“Peluang yang besar di Sragen maka menghadirkan kompetitor baru. Kalau yang tidak bisa bertahan maka akhirnya ya gulung tikar juga. Sudah banyak kafe atau resto yang gulung tikar. Promosi itu nomor satu untuk meningkatkan pelanggan,” katanya.

Owner Lubby Cafe and Eatery Sragen, Ilham Kurniawan, mengaku membuka bisnis kulinernya pada 1 Februari 2022 lalu. Sudah berjalan 1,5 tahun ini, Ilham melihat pelanggan Lubby sudah tertata, yakni dari kalangan keluarga, orang kantoran, dan pebisnis Sragen.

Sebagai resto dan kafe western, Ilham membidik kalangan menengah ke atas. Dia menjaga konsistensi rasa masakanan dan pelayanan yang baik serta menyediakan fasilitas mendukung seperti live music dan meeting room dengan pendingin ruangan.

Meeting room kami berkapasitas 40 orang. Live music diadakan setiap Rabu, Jumat, dan Sabtu. Dengan pelayanan itu, alhamdulillah per bulan bisa dapat Rp70 juta-Rp80 juta. Dengan karyawan delapan orang bisa menutup biaya operasional,” jelasnya.

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sragen, Dwi Agus Prasetyo, menilai menjamurnya bisnis kuliner di Sragen itu salah satunya didorong oleh adanya budaya latah.

Agus mengatakan latah yang dimaksud ketika melihat ada resto atau kafe yang ramai kemudian diikuti munculnya resto atau kafe baru yang masif karena prospeknya bagus.

Banyaknya kafe baru muncul itu, kata dia, seiring dengan adanya live music yang pas untuk anak-anak muda yang butuh Nongki alias nongkrong minum kopi.

“Kalau ingin lihat bisa ke wilayah Beloran, Cantel, Krapyak, sampai Pilangsari. Banyak ABG [anak baru gede] yang nongkrong hampir setiap malam, terutama malam Minggu. ABG-ABG ini kalau ada kafe baru selalu didatangi. Mereka ini mencari suasana yang nyaman. Anak-anak yang suka Nongki itu banyak dan inilah pangsa pasar kafe,” kata Agus.

Agus mengatakan anak-anak itu yang tergabung dalam komunitas dan ada yang masih pelajar atau mahasiswa. Mereka memilih Nongki di kafe atau resto, jelas Agus, karena di Sragen belum ada fasilitas umum yang luas dan nyaman untuk mengakomodasi mereka.

Agus pernah masuk dan ikut Nongki di salah satu kafe di Sragen. Agus menjadi tahu motif anak-anak itu Nongki.

“Jadi mereka itu cukup pesan es teh atau kopi bisa berjam-jam di kafe karena ada fasilitas wifi gratis. Dengan wifi gratis itu mereka bisa main game bersama atau berselancar di dunia maya. Biasanya dua jam sudah pindah. Oreintasi anak-anak ABG itu bereda dengan para pebisnis atau generasi tua ketika ke kafe untuk reuni atau berbincang tentang bisnis,” ujar Agus.

Agus mengatakan budaya latah meniru itu selain prospek bagus juga memang ada simbisosis mutualisme antara pebisnis dan segmen anak-anak muda itu karena saling membutuhkan.

Mereka yang suka Nongki itu, kata dia, berumur antara 17-25 tahun yang paling banyak. Dia mengatakan jumlah anak-anak generasi ini terus bertambah dan bisnis kuliner itu bukanlah bisnis musiman seperti pakaian atau fashion.

“Pertumbuhan bisnis kuliner itu juga terlihat dari menjamurnya pedagang kaki limas (PKL) saat malam hari di sepanjang Jalan Raya Sukowati. Dari Masjid Al Falah ke barat itu banyak PKL setiap malam dan mereka laku semua. Kalau tidak laku pasti tutup lama. Mereka jual cumi, es teh, dinsum, dan seterusnya,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya