SOLOPOS.COM - Shella, 25, salah satu pedagang pakaian bekas impor yang mengikuti pameran Safe Festival di Sport Hall Terminal Tirtonadi Solo, Selasa (14/12/2021). (Solopos/Chelin Indra Sushmita)

Solopos.com, SOLO — Dari dulu sampai sekarang, perdagangan awul-awul alias pakaian bekas impor laku keras di Indonesia. Padahal selama ini perdagangan tersebut telah dilarang oleh pemerintah. Lantas, mengapa produk thrifting tersebut selalu laris manis di pasar lokal?

Hasil penelitian Shelly Steward dari University of California bertahuk What does that shirt mean to you? Thrift-store consumption as cultural capital, yang dikutip Solopos.com, Selasa (21/12/2021), menemukan ada dua kelompok konsumen produk thrifting.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Pertama adalah mereka yang mencari barang bekas untuk mendapatkan harga murah. Kelompok kedua adalah kategori para kreatif yang mencari barang bekas sebagai wujud penolakan terhadap kapitalisme dan konsumerisme yang diciptakan pelaku usaha modern.

Pandangan kaum kreatif tersebut membentuk budaya populer yang baru, sehingga berimplikasi pada lonjakan permintaan barang thrifting. Termasuk di pasar lokal seperti di Kota Solo, Jawa Tengah.

Baca juga: Kontroversi Jual-Beli Awul-Awul Impor di Solo, Kalian Tim Mana Gaes?

Asal-Usul Trhifting

Sebagai informasi, baju bekas impor atau biasa disebut produk thrift yang diperdagangkan di Indonesia ini biasanya berasal dari China, Jepang, serta Korea. Barang-barang yang dianggap sampah itu biasanya dijual dengan harga murah.

Awalnya barang yang dijual berasal dari luar negeri dan berasal dari donasi. Namun lama-kelamaan barang-barang yang ada di thrift shop bukan lagi berasal dari donasi, tetapi juga barang bekas dari luar negeri.

Istilah thrift awalnya berarti keberuntungan yang merujuk pada tindakan ekonomis yang dilakukan masyarakat umum. Orang yang melakukan penghematan dianggap beruntung karena akan memiliki tabungan lebih.

Dikutip dari TLFR, Selasa (21/12/2021), fenomena jual beli barang thrifting ini dipicu defisit ekonomi besar. Hal ini memunculkan ide inovatif tentang pemanfaatan barang bekas agar menghemat pengeluaran.

Berdasarkan data dari America’s Research Group, jumlah toko barang bekas tumbuh 7% setiap tahun. Demikian pula dengan konsumennya yang mengalami peningkatan sejak 2008.

Baca juga: Setengah Abad Pasar Awul-Awul Gilingan Solo Bertahan dan Diburu Warga

Gaya Hidup Milenial

Seiring perkembangan zaman, pakaian bekas impor menjadi komoditas yang menjanjikan. Sejumlah pelaku bisnis awul-awul impor di Kota Solo saat ini kebanyakan justru berasal dari kalangan anak muda. Mereka tak segan mengeluarkan modal besar untuk berbisnis.

Shella, salah satu pedagang baju bekas impor mengatakan, kebanyakan pelanggannya adalah anak-anak muda. Wanita berusia 25 tahun itu mengaku baju bekas itu telah menjadi bagian dari gaya hidup kaum milenial.

“Baju yang saya pakai ini dari atas sampai bawah thrifting. Enggak ada masalah juga make baju bekas gini, malah belakangan naik kelas,” katanya.

Baca juga: Mau ke Pasar Awul-Awul Solo? Ini Trik Berbelanja Barang Bekas

Berdasarkan pantauan di lapangan, harga baju bekas impor itu masih dianggap ramah di kantong. Bahkan tak sedikit orang yang berburu baju bekas impor karena menilai kualitasnya lebih baik dari produk lokal. Demikian juga dengan nilai yang ditawarkan baju bekas impor bermerek yang bisa meningkatkan prestise si pemakai.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor pakaian sepanjang Januari-Oktober 2021 mencapai 58,1 ton dengan nilai total US$517,2 juta atau Rp7,34 triliun. Mayoritas pakaian tersebut diimpor dari China. Data ini menunjukkan kenaikan impor pakaian jadi baik dari sisi volume maupun nilai dibandingkan periode yang sama pada 2020.

Baca juga: Awul-Awul Solo Makin Gaul, Kini Bahkan Diburu Cah Milenial

Regulasi

Pemerintah sebenarnya telah melarang perdagangan baju bekas impor dalam Permendag Nomor 51 tahun 2015. Akan tetapi peredarannya sulit dihentikan.

Dalam peraturan terbaru, pemerintah mengenakan besa masuk tindakan pengamanan (BMTP) terhadap baju bekas impor dan aksesoris mulai 12 November 2021 hingga tiga tahun ke depan. Dengan demikian bukan tidak mungkin harga baju bekas impor menjadi lebih mahal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya