SOLOPOS.COM - Bus Batik Solo Trans (BST). (Solopos/Nicolous Irawan)

Solopos.com, SOLO—Pengamat transportasi sekaligus Akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menyebut angkutan umum di Solo, terutama bus Batik Solo Trans atau BST relatif sudah bagus. Namun, menurut dia, masih ada pekerjaan rumah, sebab angkutan itu belum bisa menjangkau beberapa kawasan perumahan di Solo.

“[Jangkauan BST] masih kurang. Kalau Solo feeder harus diperbanyak ke kawasan perumahan. Ya setidaknya pakai angkot-angkot kecil lah untuk mencapai perumahan-perumahan itu. Sehingga maksimal orang jalan 500 meter sudah bisa dapat kendaraan,” ketika dihubungi Solopos.com, Sabtu (18/2/2023).

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Namun, dia mengapresiasi BST karena sudah menerapkan sistem Buy The Service atau BTS. Sistem ini diterapkan dalam rangka mengintegrasikan angkutan umum di Solo dan mengupayakan untuk mengurangi pengguna kendaraan pribadi.

“Solo itu mendapatkan program Buy The Service atau BTS [dari Kemenhub] sejak 2020, perkembangannya cukup bagus. Dari 10 kota, Solo masuk nomor 2 setelah Surabaya. Tapi Surabaya hanya satu koridor. Artinya Kota Solo skornya cukup tinggi lah di atas 60%,” katanya.

Melalui penerapan sistem Buy The Service, menurut Djoko, angkutan di Solo sudah terintegrasi secara fisik. Dia mencontohkan misal BST dengan KRL Jogja-Solo dan Trans Jateng. 

“Jadi integrasi bus sudah terjadi, kelebihannya itu. Nah sekarang tinggal mengatur berintegrasi secara tarif, satu kali bayar bisa pindah-pindah [antar angkutan]. Misal integrasi pembayar BST dengan kereta atau dengan Trans Jateng lah,” kata dia.

Selain itu, menurut Djoko, keberadaan contra flow BST di Jl. Slamet Riyadi menambah nilai plus bagi perkembangan transportasi bus di Solo. “Nah yang bagus di Solo punya program contra flow, kota lain belum ada, kemudian juga sudah ada halte. Justru yang contra flow itu penumpangnya paling tinggi,” kata dia.

Contra flow yang diterapkan di Jl. Slamet Riyadi bertujuan mewujudkan transportasi berkelanjutan, caranya dengan memberikan akses yang fleksibel dan mudah bagi angkutan umum.

Dia juga menyoroti adanya jalur lambat di Jl Slamet Riyadi. Baginya jalur itu bisa mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan mempermudah akses warga untuk naik angkutan umum. 

Sebenarnya sudah ada jalur tidak bermotor, nah itu bisa dimanfaatkan juga. Total ada kurang lebih 25 kilometer jalur lambat. Jalur lambat itu potensi untuk orang mau menggunakan angkutan umum,” kata dia.

Meski begitu, masih perlu ada evaluasi sebab jalur lambat yang sedianya digunakan untuk kendaraan tak bermotor, seperti becak, sepeda, dan lainnya, malah banyak warga melintas dengan sepeda motor.

Catatan lain adalah persoalan mengajak warga Solo untuk mau naik kendaraan umum. Djoko mengatakan masih perlu sosialisasi yang intens. “Paling tidak itu ada kewajiban untuk pegawai negerinya, digilir untuk menggunakan Batik Solo Trans, sayang kalau sepi,” ujar dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya