SOLOPOS.COM - Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo (kiri) meninjau kawasan Benteng Vastenburg, Solo, Rabu (30/8/2017). (Nicolous Irawan/JIBI/Solopos)

Sejumlah legislator mengomentari rencana Pemkot Solo menjadikan lahan Benteng Vastenburg sebagai lokasi parkir.

Solopos.com, SOLO — Sejumlah kalangan menyayangkan alih fungsi ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan Benteng Vasteburg. Semula halaman benteng peninggalan Belanda di jantung Kota Solo ini dipasang paving yang mengurangi ruang terbuka hijau (RTH).

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Kini, Pemkot Solo berencana menjadikan lahan tersebut sebagai kawasan parkir kendaraan. Sebagaimana diinformasikan, lahan milik pribadi seluas 8.000 meter persegi itu dipasangi paving dengan mengandalkan dana corporate social responsibility (CSR) PT Bali Towerindo Sentra Jakarta.

Wakil Ketua Komisi II DPRD Solo, Supriyanto, kecewa lagi-lagi Pemkot sengaja mengurangi RTH dengan paving block di kawasan benda cagar budaya (BCB). Dalam hal ini, seharusnya Pemkot mengkaji lebih mendalam dengan menggandeng Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).

Lebih lanjut dia mengatakan alasan pemanfaatan lahan tersebut untuk parkir jelas tak berdasar. “Semestinya ada kajian dulu karena ini berkaitan dengan kawasan BCB. Belum lagi ini ada pengurangan RTH. Seharusnya Pemkot itu melindungi dan melestarikan BCB bukan malah sebaliknya. Padahal dari awal kami selalu mengingatkan soal RTH ini. Pemanfaatan untuk lahan parkir agar bisa mendapatkan pendapatan asli daerah [PAD] juga tak bisa jadi alasan,” ungkapnya saat diwawancarai Solopos.com, Jumat (1/9/2017).

Di sisi lain, paving block jelas tidak masuk kriteria RTH. RTH publik di Solo baru 9% dari yang diamanatkan Peraturan Daerah (Perda) No. 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT RW) Kota Solo 2011-2031 pada Pasal 37 dengan perincian RTH privat minimal 10% dan RTH publik 20%.

Sementara itu, aktivis Solo Hijau, Miftahul Arozaq, juga menilai paving block ini kian mengurangi RTH. Dia menilai kebijakan Pemkot soal penataan ruang kurang ekologis akhir-akhir ini.

“Sebagai contoh, inventarisasi pohon di Solo sudah dilakukan, tapi kenyataannya banyak yang ditebang. Secara fungsi ekologis pohon sebagai pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap polutan, dan habitat satwa yang sudah banyak yang hilang di kota ini,” paparnya.

Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, menambahkan aksi Pemkot ini membuat ruang publik tercaplok kepentingan. Idealnya kawasan RTH harus dihijaukan. Terlebih keberadaannya tepat di pusat kota sehingga sangat strategis sebagai area hijau.

“Selain kawasan heritage [Vastenburg], itu juga ruang publik yang bisa dipakai untuk taman kota. Semangat penghijauan kawasan itu yang mestinya dilakukan. Namun demikian, gagasan tersebut mestinya harus diuji dulu dengan pendekatan multidimensional seperti ekologi dan sejarah,” papar Divisi Media dan Komunikasi Solo Hijau.

Dari segi ekologi ditinjau dari sisi lingkungan. Menurutnya, kawasan tersebut butuh penghijauan dan potensial menjadi hutan kota. Selain untuk menyejukkan area sekitar yang panas juga mencegah banjir karena akar pohon menyerap air.

Hal ini selaras dengan kawasan benteng tempo dulu, yakni halaman depan yang rindang dengan pepohonan. Sedangkan dari segi sejarah, benteng, dan sekitarnya merupakan situs sejarah yang saling berkaitan.

Ada gedung Bank Indonesia, Loji Wetan, gereja Purbayan, dan gereja GPIB Penabur. Jika dibuat lahan parkir akan mengurangi wajah kota lama Solo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya