Solo (Espos)–Menculnya calon independen tidak menjamin bakal memperbaiki demokrasi atau serta merta melahirkan kekuatan rakyat yang frustasi atas ulah elit partai politik. Pasalnya, kesadaran politik rakyat saat ini diakui masih sangat lemah.
“Sehingga, kemunculan calon independen bisa jadi kualitasnya sama dengan yang dahulu. Atau bahkan malah lebih buruk lagi bagi pendidikan demokrasi,” ujar Arie Sujito, sosiolog yang juga dosen Fisipol UGM Yogyakarta dalam diskusi bertema Peluang Calon Independen di Hotel Riyadi Palace, Sabtu (16/1).
Dalam acara yang digelar KPU Solo tersebut, hadir ratusan peserta dari kalangan LSM, Mahasiswa, perangkat KPU se-Soloraya, serta tokoh masyarkat serta Ketua KPU Jateng, Ida Budiati.
Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal
Arie menjelaskan, munculnya calon independen telah memberi angin segar atas wajah demokrasi Indonesia. Namun, masih mudanya usia demokrasi di Indonesia membuat partisipasi rakyat masih kecil. Bahkan, kepentingan pragmatisme saat ini masih mendominasi wajah demokrasi Indonesia.
Permasalahan di tubuh demokrasi, kata Arie, tak bisa dilepaskan dari peran dan kualitas Parpol saat ini. Menurutnya, nyaris semua Parpol saat ini berkulitas buruk karena tak bisa memberikan pendidikan politik bagi rakyat.
Ketua KPU Jateng, Ida Budiati lebih menyorot soal mekanisme dan persayaratan calon independen. Menurutnya, munculnya calon independen tak bisa dilepaskan dari keinginan untuk memunculkan calon daerah yang tak lolos seleksi Parpol. Pasalnya, seleksi di internal Parpol tak jarang yang jegal-menjegal dan tawar menawar harga. “Kondisi memprihatinkan inilah yang memicu lahirnya calon independen dengan harapan menjadi wadah suara yang frustasi dengan Parpol,” paparnya.
Meski demikian, pada implementasinya tak jarang calon independen menyimpang. Karena yang maju kebanyakan ialah orang-orang dari pemerintah pusat, mulai artis hingga penyanyi demi mengejar popularitas.
asa