Soloraya
Jumat, 26 November 2021 - 19:01 WIB

Cerita Ibu Digugat Anak Sendiri, Sri Surantini: Ini Pengalaman Terpahit

Cahyadi Kurniawan  /  Haryono Wahyudiyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sri Surantini (tengah) bersama Gunawan Djoko Hariyanto (kiri) saat ditemui wartawan di rumahnya Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen, Kecamatan Sawit, Boyolali, Jumat (26/11/2021). (Solopos.com/Cahyadi Kurniawan)

Solopos.com, BOYOLALI—Sri Surantini tak menyangka pada usianya yang tak lagi muda harus memghadapi gugatan yang diajukan oleh anak kandungnya sendiri yakni Rini Sarwestri, 55, dan Indri Aliyanto, 47. Bahkan, pada guguatan pertama, ia harus bolak-balik ke Pengadilan Negeri (PN) Boyolali menjalani persidangan tanpa absen.

Seusai sidang pemeriksaan setempat, sejumlah wartawan berkesempatan menemui Sri Surantini di rumahnya Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen, Kecamatan Sawit. Ia terlihat sehat. Pendengarannya masih baik meski harus sedikit mengeraskan suara saat berbincang dengannya. Ia mengenakan sebuah kacamata berlensa cukup tebal.

Advertisement

Ia lalu bercerita mengenai awal mula hibah tanah kepada anak-anaknya. Hibah tanah perkarangan dan rumah yang kini ditempatinya diberikan kepada tiga anaknya dan satu cucunya, Afrizal Dewantara Putra. Ketiga anak ini yakni Gunawan Djoko Hariyanto, Aris Haryono, dan Wiwik Wulandari.

Baca Juga: Anak Gugat Ibu Kandung di Boyolali, Penggugat Tuntut Pembatalan Hibah

Sedangkan Rini Sarwestri dan Indri Aliyanto tidak mendapatkan hibah. Sebab, keduanya sudah mendapatkan sebelumnya. “Saya sudah adil. Dulu sudah tak kasih mereka berdua itu,” kata Sri, Jumat (26/11/2021).

Advertisement

Saat mau bikin rumah di Salatiga, misalnya Rini mendapatkan uang senilai Rp2 juta. Sri menjualkan tanahnya di Desa Dibal, Kecamatan Ngemplak, seluas 200 meter. Peristiwa ini terjadi pada 1993. Saat itu harga tanah masih Rp10.000 per meter persegi.

Kemudian, Indri sempat mengalami bangkrut saat berbisnis mebel. Ia menggadaikan sertifikat tanah yang ditempati ibunya di Klinggen sebagai agunan ke bank swasta. Namun, ia tak bisa mengangsur kreditnya selama berbulan-bulan. Akibatnya, tanah ini sempat akan dilelang.

Baca Juga: Covid-19 Melandai, PGRI Klaten Berharap Sekolah Gelar PTM secara Penuh

Advertisement

“Terus tak jualkan lagi tanah 3.500 meter persegi. Totalnya Rp35 juta pada 2011. Waktu itu harga per meternya Rp100.000 per meter,” ujar dia.

Kemudian, Sri Surantini berinisiatif membagi sisa tanah yang ada kepada anak-anaknya. Ia menghubungi semua anak-anaknya agar datang ke musyawarah keluarga. Namun, yang hadir hanya ketiga anaknya Gunawan, Aris, dan Wiwik.

“Tidak ada yang mbujuki. Itu keluar dari hati nurani saya sendiri. Tahu-tahu malah kejadian seperti ini. Semua ini kan sudah dimusyawrah dulu. Semua anak bersepakat,” tutur Sri.

Baca Juga: Sukarelawan Pendukung Ganjar Capres 2024 Gelar Panen Bersama di Klaten

Indri dan Rini saat itu tidak ada di rumah. Sri dan anak-anaknya tidak ada yang tahu di mana mereka tinggal. Akhirnya, Sri mengirim SMS kepada Rini. “Rin, reneo, nduk. Kowe tak kei bagian tanah [Rin, ke sini, nak. Kamu saya beri bagian tanah],” ujar Sri meniru bunyi SMS-nya.

“Ngapa bagian tanah? Wong tanahmu wae mau dilelang bank kok,” balas SMS Rini kepada ibunya.  “Rasanya bagaimana saya? Saya sakit. Dikasih tanah mau dilelang bank,” kenang Sri.

Karena kasihan kepada Rini, jatah tanah untuknya diberikan kepada cucu Sri sekaligus anak Rini, Afrizal Dewantara Putra. Afrizal mendapatkan tanah di bagian depan rumah. Ia berharap hibah itu bisa dipakai untuk masa depan cucunya. Sri merawat Afrizal ini sejak SD hingga SMP di rumah yang mereka tempati.

Baca Juga: Dapat Bantuan Perpusnas, Disdukcapil Klaten Punya Pojok Baca Digital

 

Wisata Advokasi

Anak sulung Sri, Gunawan tak menyangka ibunya harus bolak balik ke PN Boyolali menjalani persidangan atas gugatannya adik-adiknya. Selama enam bulan proses persidangan, ibunya tak pernah absen sekalipun. Padahal, saat itu penularan Covid-19 sedang tinggi-tingginya.

Saat kali pertama menjalani sidang, ibunya masih terlihat gugup dan badannya gemetaran. Lalu, pada sidang kedua, kondisinya ibunya lebih stabil. Pada sidang ketiga dan seterusnya, ibunya sudah terbiasa menjalani persidangan.

Gunawan menceritakan untuk menghibur ibunya yang harus menjalani persidangan ini, ia akan mengajak ibunya piknik tipis-tipis. Ia menamainya dengan wisata advokasi karena objek yang dikunjunginya adalah PN Boyolali.

Baca Juga: Penertiban Truk Roda 10 di Jalur Galian C Klaten Harus Lebih Serius

“Kemudian, saya ajak main entah makan di warung soto, mengunjungi alun-alun utara. Di sana liat tugu-tugu dan beberapa tempat lainnya. Itu selama enam bulan,” ujar dia.

Ia merasa beruntung kondisinya sang ibu tetap prima meski harus bolak-balik ke PN Boyolali. Kini, “wisata advokasi” ini dihentikan. Sebab, hakim PN Boyolali menganjurkan agar menggunakan kuasa hukum. Hakim tak sampai hati melihat Sri Surantini harus menjalani persidangan sendiri seperti sebelumnya.

“Sekarang kami pakai kuasa hukum karena hakim enggak tega melihat ibu harus bolak-balik ikut sidang. Saya ikuti anjuran hakim,” ujar dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif