Soloraya
Jumat, 22 Juli 2011 - 04:07 WIB

Cerita nestapa gubuk bambu Mbah Wiji

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Gubug Bambu (SOLOPOS/Kurniawan)

Gubug Bambu (SOLOPOS/Kurniawan)

Solo (Solopos.com)–Bangunan itu lebih tepat disebut gubuk ketimbang rumah. Berdinding anyaman bambu, tanpa aliran listrik dan hanya berjarak dua meter dari kandang kambing.

Advertisement

Bangunan berlantai tanah dengan ukuran sekitar 4 meter x 3 meter itu tak mengenal pembagian ruang seperti lazimnya rumah.

Dua ranjang kayu setengah lapuk dengan kasur yang tak lagi empuk menjadi satu-satunya isi gubuk Mbah Wiji, 47.

Empat tahun sudah, perempuan asal Desa Grompol, Kebakkramat, Karanganyar itu tinggal di gubuk reyot yang berdiri di tanah PT Kereta Api (KA) tepatnya RT 2/RW XV Pucangsawit, Jebres. Bersama dua anak dan dua cucunya Mbah Wiji dipaksa melupakan keinginannya tinggal di rumah yang layak.

Advertisement

Penderitaan Mbah Wiji bermula ketika suaminya meninggal belasan tahun lalu. Perempuan yang telah tinggal di Solo 30 tahun itu harus bekerja keras bersama anaknya untuk mencari makan. Keterbatasan ekonomi keluarga memaksa Mbah Wiji memboyong keluarganya tinggal di tanah PT KA yang berbatasan dengan TPU Purwoloyo Pucangsawit.

Untuk penerangan pada malam hari keluarga Mbah Wiji mengandalkan lampu penerangan seadanya. ”Inginnya ya seperti orang-orang kebanyakan, tinggal di rumah yang layak, bersih, ada penerangan listrik. Dulu saat masih ada suami kehidupan kami lumayan layak tapi sekarang kami tidak punya rumah sehingga terpaksa tinggal di sini,” ujarnya saat ditemui Espos, Rabu (20/7/2011).

Menjelang Ramadan seperti sekarang, Mbah Wiji mencari pemasukan tambahan dengan menjajakan jasa bersih-bersih makam. Anaknya, Yasir, 30, yang bekerja sebagai cleaning service di UNS sesekali juga membantunya di makam. Laki-laki yang punya dua anak itu mengaku tidak ada masalah tinggal di tanah bantaran dekat rel kereta api.

Advertisement

Suara hiruk-pikuk kereta sudah menjadi makanan saban hari.
Terkadang kereta yang lewat menjadi hiburan tersendiri untuk dua anaknya yang masih berumur bawah lima tahun (Balita). ”Untuk tambah-tambah saya juga sering bantu garap pemasangan kijing makam,” aku dia.

(Kurniawan)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif