SOLOPOS.COM - Suasana sepi di Pasar Klewer Solo, Rabu (13/4/2022). (Solopos/Afifa Enggar Wulandari)

Solopos.com, SOLO — Saat ini ada sekitar 2.500 pedagang yang mengais rezeki di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah.

Dari ribuan orang tersebut, hanya sekitar 25 persennya yang berjenis kelamin laki-laki. Mayoritas pedagang di Pasar Klewer berjenis kelamin perempuan.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Menurut Petugas Humas Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK) Solo, Yuni Wulandari, 59, jumlah pedagang laki-laki di pasar itu hanya sekitar 25 persen. Yang menarik, para pedagang di pasar tersebut merupakan generasi kedua dan ketiga.

“Seperti yang saya alami. Dulu kiosnya milik ibu saya, lalu saya lanjutkan,” ujar dia saat ditemui Solopos.com di kiosnya, Selasa (19/4/2022).

Yuni mengaku sejak masih kuliah sudah sering menemani sang ibunda berjualan di Pasar Klewer Solo.

Baca Juga: Regenerasi HPPK Molor 2 Tahun Akibat Kebakaran Pasar Klewer Solo

Namun baru pada tahun 1985 atau setelah ibunya meninggal, dirinya melanjutkan usaha di pasar tersebut.

Dari sekian saudaranya, Yuni yang belum juga mendapatkan pekerjaan setelah mengajukan lamaran ke sana ke mari.

“Mungkin saya yang mampu waktunya, ada waktu luang. Nglamar kerja ke mana-mana tidak dapat kerjaan. Akhirnya ibu bilang, ya sudah kamu bantu di Klewer. Setelah berkeluarga dan punya anak, saya langsung masuk Klewer,” kata dia.

Sebagai perempuan yang telah 37 tahun berjualan di Pasar Klewer, Yuni mengaku tak mempunyai pengalaman yang tidak enak. Semua rekan kerjanya relatif bersahabat. Terlebih mayoritas dari para pedagang itu mereka juga kaum Hawa.

Baca Juga: Bagas Bocah Pencari Rongsokan di Pasar Klewer Ternyata Warga Boyolali

Yuni merasa bersyukur karena di lingkungan keluarga dan para tetangganya pun tidak ada yang bersikap tidak baik kepadanya. Ketika sebagian perempuan dalam rundungan stigma konco wingking, Yuni tak merasakan hal itu.

“Jiwa dagang saya ada. Ibu saya tidak melarang tapi malah mendukung, juga suami saya. Asal kewajiban kodrat saya sebagai istri dan ibu tidak terlupakan. Harus melayani, menyiapkan, dan segala macam, saya lakukan,” urai dia.

Dari penuturan para pedagang lain di Pasar Klewer, menurut Yuni, relatif tidak ada masalah terkait statusnya yang dirasakan para pedagang. Bila pun ada dia menduga alasan suami melarang istrinya berjualan karena kebutuhan tercukupi.

“Bila ada yang melarang istrinya kerja di pasar, mungkin karena suami sudah bisa mencukupi kebutuhan istri. Ada yang juga dilarang kerja biar tidak capai. Tapi kalau saya orangnya tidak bisa diam. Jadi semua saya kerjakan,” ujar dia.

Baca Juga: Jalan-Jalan ke Pasar Klewer Solo, Jangan Lupa Jajan Kuliner Enak Ini

Sedangkan ihwal risiko atau bahaya pelecehan fisik maupun verbal di lingkungan pasar, menurut Yuni tidak pernah terjadi. Selain karena lingkungan pasar yang aman, juga karena para pedagang punya jurus sendiri menghadapinya.

“Jadi jangan sampai kami omong terlalu keras kepada pembeli. Selama ini saya alhamdulillah aman-aman saja. Perlakuan seperti itu jarang. Mungkin ada tapi di sini yang saya tahu tidak ada. Kami pun sudah punya jurus sendiri,” imbuh dia.

Berdasarkan pengalamannya, sang ibunda pun tidak pernah bercerita ihwal kejadian seperti itu. Artinya, dia menyimpulkan, pada prinsipnya kaum perempuan di Solo utamanya pedagang Pasar Klewer relatif mandiri selama ini.

Baca Juga: Kebakaran Pasar Klewer Solo Jadi Momen Paling Membekas di Benak Rudy

Penuturan senada disampaikan Osana Putri Dewi, 31, seorang pegawai di Pasar Klewer Solo. Pengalamannya selama 10 tahun bekerja di pasar konveksi terbesar di Solo tersebut tidak pernah ada kejadian pelecehan perempuan.

Hal itu menurut dia bisa disebabkan kultur masyarakat Solo yang notabene perkotaan, yang membuat berpikiran terbuka dan maju.

Warga Solo lebih berpikiran realistis atau sesuai kondisi nyata ketimbang dari kaca mata lain.

“Saya alhamdulillah tidak pernah ada masalah selama 10 tahun bekerja di Klewer. Teman-teman pedagang, keluarga, teman-teman, tetangga, semua berpikiran terbuka. Beda soal kalau saya tinggal di desa yang berpikiran kolot,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya