SOLOPOS.COM - Jumiyanti, 41, menjemur singkong yang telah direbus dan diiris-iris untuk dibuat balung kethek di belakang rumahnya, Blimbing, Temon, Simo, Boyolali, Selasa (11/4/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com Stories

Solopos.com, BOYOLALI — Balung kethek yang terbuat dari bahan utama singkong menjadi salah satu olahan makanan ringan yang diburu sebagai oleh-oleh pemudik atau pendatang di Boyolali. Salah satu produsen balung kethek ada di  Blimbing, Temon, Simo, Boyolali.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Adalah Jumiyanti, eks buruh pabrik yang sukses mengembangkan balung kethek sejak 2015 hingga menjadi oleh-oleh khas Simo, Boyolali. Jumiyanti tak hanya sukses menjadikan balung kethek sebagai oleh-oleh khas, ia juga meraup omzet mencapai belasan juta rupiah dalam sebulan.

Tak hanya itu, ia berhasil memberdayakan ibu rumah tangga di lingkungan tempat tinggalnya dari usaha tersebut dengan menjadikan mereka karyawan.

“Alhamdulillah, untuk jelang Lebaran ini mengalami kenaikan mulai pekan kedua Ramadan. Situasi biasa paling sebulan terjual 3.000-4.000 bungkus, saat ini sudah ada 6.000 pesanan,” ujarnya saat berbincang dengan Solopos.com di rumahnya, Selasa (11/4/2023).

Ia mengungkapkan pada bulan biasa, ia mampu meraup omzet Rp15 juta-Rp16 juta sebulan dari penjualan balung kethek oleh-oleh khas Boyolali itu. Namun, jelang Lebaran omzetnya bisa mencapai lebih dari Rp24 juta.

Jumiyanti mengungkapkan sebelum terjun ke usaha pembuatan balung kethek, ia pernah menjadi buruh pabrik di Jakarta pada 2003-2006. Ia merantau ke Jakarta bersama sang suami yang asli Simo.

Kemudian, mereka pulang ke Blimbing, Temon, Simo, pada 2008. Sang suami langsung bekerja mengajar di salah satu SMK swasta di Simo. Sedangkan ia yang saat itu belum mendapatkan pekerjaan menjadi ibu rumah tangga.

Pada tahun itu, ia memikirkan cara agar tidak hanya berdiam diri di rumah. Beberapa percobaan seperti berbisnis sale pisang, keripik jamur, dan lain-lain ia lakukan.

Akan tetapi, Jumiyanti mengalami kendala yaitu mahalnya bahan baku dan harga yang kurang ramah di kantong masyarakat. Ia pun gagal dan tak melanjutkan usaha tersebut.

oleh-oleh khas balung kethek boyolali
Oleh-oleh khas balung kethek bikinan Jumiyanti, 41, di Blimbing, Temon, Simo, Boyolali, Selasa (11/4/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Lalu, pada 2015 ia mendapati mertuanya memiliki banyak singkong dan berpikir akan diapakan singkong yang berlimpah tersebut. Saat itu lah ia terpikir untuk membuat balung kethek yang kemudian berkembang menjadi oleh-oleh khas di Boyolali.

Proses Produksi

“Jadi berkembang itu perjalanannya panjang, itu saya ikut-ikut pembimbingan dari dinas, kecamatan, dari mana saja. Terus ke mana-mana saya bawa, saya promosikan, enggak malu,” kata perempuan 41 tahun tersebut.

Membuat balung kethek, diakui Jumiyanti, tidak lah sulit. Dimulai dari singkong dikupas, dipotong, dikukus atau direbus, lalu diiris kecil-kecil tipis, dan dijemur. Setelah itu balung kethek siap digoreng dan diberi rasa.

Tak hanya itu, harga singkong sebagai bahan baku juga termasuk murah. Untuk 50 kilogram singkong, pada masa panen raya harganya Rp100.000. Sedangkan saat langka atau bukan musim panen berkisar Rp100.000-Rp140.000 per 50 kilogram.

Dengan kegigihannya mempromosikan dan memproduksi balung kethek, ia mendapatkan dukungan dari pemerintah desa hingga kabupaten untuk mengikuti pameran. Bahkan, ia menceritakan terkadang dari Pemerintah Kecamatan Simo, Boyolali, membuat balung kethek produksinya menjadi oleh-oleh khas untuk tamu yang datang.

Jumiyanti awalnya menjalankan usaha pembuatan balung kethek itu sendiri. Namun, seiring banyaknya pesanan, ia mempekerjakan ibu-ibu rumah tangga sekitarnya sebagai karyawan. Saat ini ia memiliki lima orang karyawan.

Bahkan, suami Jumiyanti, Hanan, yang tadinya mengajar di SMK swasta ikut fokus mengurusi usaha balung kethek. Hanan telah keluar dari pekerjaannya sebagai guru dan membantu mengatur penjualan serta kemasan. Sedangkan Jumiyanti mengurusi bagian produksi dan rasa.

Produksi balung ketheknya juga telah merambah ke wilayah Soloraya, Semarang, Bekasi, bahkan hingga luar Jawa yaitu Makassar. “Kalau toko online saya enggak ada, karena di sini khusus produksi melayani reseller. Mereka pada buat toko online sama offline,” jelasnya.

oleh-oleh khas balung kethek boyolali
Singkong yang telah direbus diiris untuk membuat balung kethek di tempat usaha Jumiyanti, 41, di Blimbing, Temon, Simo, Boyolali, Selasa (11/4/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Balung kethek yang diproduksi di industri rumahan milik Jumiyanti dan menjadi oleh-oleh khas Boyolali itu tak hanya mengandalkan rasa original, tetapi sudah memiliki variasi rasa seperti manis, pedas, pedas manis, bahkan bisa memesan rasa khusus seperti keju.

Harganya juga terjangkau. Untuk semua varian rasa hanya Rp5.000 per pak seberat 130 gram. Saat ini varian pedas manis menjadi best seller alias paling laris. Sedangkan untuk penjualan ke Makassar, paling laris varian pedas.

Kendala Usaha

“Sekarang kan banyak yang ngikut saya buat balung kethek. Namun, alhamdulillah enggak berpengaruh pada bisnis saya karena pelanggan bilang produksi saya lebih empuk dan lebih banyak varian rasanya,” kata dia.

Layaknya setiap usaha atau bisnis, tak selamanya berjalan mulus. Selalu ada kendala yang mengadang. Untuk Jumiyanti, kendalanya adalah cuaca. Ketika musim penghujan, singkong yang telah diiris menjadi tidak kering maksimal, sehingga saat menggoreng membutuhkan lebih banyak minyak.

Untuk mengatasi kendala tersebut, ia mengatakan setiap harinya konstan mengiris satu kuintal singkong untuk berjaga-jaga saat musim hujan dan saat tak mendapatkan singkong.

“Setiap hari produksi satu kuintal singkong. Nanti singkong yang kering bisa bertahan sampai 10 bulan tanpa freezer,” kata produsen balung kethek oleh-oleh khas Boyolali itu.



Salah satu pekerja di tempat usaha pembuatan balung kethek Jumiyanti, Darsinah, 43, mengaku sangat terbantu dengan adanya usaha tersebut. Saat ia terpuruk kena PHK di salah satu pabrik tekstil di Sukoharjo pada 2019, ia langsung bergabung dengan Jumiyanti.

“Soalnya saya kan terbiasa kerja, kalau nganggur itu di rumah malah bingung,” jelasnya. Ia pun merasa lebih senang bergabung dengan Jumiyanti karena bekerja lebih dekat dengan rumah.

Selama bekerja di pabrik, ia mengatakan tak memiliki banyak waktu untuk keluarga. Bahkan, untuk memasak pun juga jarang.

“Kerjanya di sini merebus mulai pukul 13.00 WIB, terus mulai motong singkong itu habis asar sampai selesai, biasanya pukul 22.00 WIB. Ramadan ini, mulai motong pukul 06.00 WIB sampai selesai, biasanya sebelum Zuhur,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya