SOLOPOS.COM - Petani dari lereng Merapi mengeringkan hasil panen tembakau mereka di Pasar Sapi Jelok, Boyolali, Sabtu (13/8/2022). (Solopos.com/Nova Malinda).

Solopos.com, BOYOLALI – Serikat Petani Indonesia (SPI) Boyolali merasa keberatan dengan keputusan pemerintah Indonesia yang secara resmi menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sebesar 10 persen mulai tahun depan dan 2024.

Ketua SPI Boyolali, Ahmad Ali Mustofa, mengungkapkan dampak kenaikan cukai hasil tembakau atau cukai rokok tersebut berat bagi petani.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

“Dampaknya berat untuk petani dan perajang seperti kami, karena bea cukai naik, mau enggak mau yang pesanan dari pabrik itu orderannya harga semakin kecil. Yang jadi korban kan kami ini,” jelasnya saat ditemui Solopos.com di kediamannya, Lencoh, Selo, Selasa (27/12/2022).

Ia menjelaskan jika harga rokok premium sebatang Rp2.000, sebenarnya Rp1.000 sudah masuk rukok. Sisanya dibagi dengan bahan baku, modal, pekerjaan, dan lain-lain. Jika cukai rokok naik, jelas dia, otomatis harga akan melambung dan yang akan menjadi korban petani.

Ahmad mengingat harga beli pupuk dari kemitraan pada 2010 sebesar Rp500.000 per 50 kilo. Kemudian, petani menerima harga penjualan dari kemitraan sebesar Rp50.000 – Rp60.000 per kilogram tembakau kering.

Baca juga: Kenaikan Cukai Rokok untuk Menurunkan Prevalensi Merokok, Ini Penjelasan Menkeu

“Tahun 2022 ini, kami ambil pupuk dari sana per sak 50 kilo harganya Rp900.000, terus harga kering dari pabrik untuk petani dihargai Rp50.000 – Rp60.000 per kilogram. Sama dengan 12 tahun yang lalu gara-gara cukai rokok yang tinggi,” jelas dia.

Ia mengungkapkan kerjasama dengan kemitraan pada 2022 ini sangat tidak menguntungkan. Ahmad sendiri mengaku pada panen 2022 rugi Rp50 juta. Penyebabnya, jelasnya, faktor harga tembakau kering yang dihargai semakin murah. Selain itu, ada juga faktor kemarau basah pada 2022.

“Kalau di kemarau panjang, per satu ton daun basah itu bisa sampai satu kuintal 70 kilogram. Namun, di kemarau basah seperti ini hanya bisa jadi satu kuintal hingga satu kuintal 10 kilo,” jelasnya.

Untuk menutup kerugian, Ahmad mengaku mengandalkan hasil sayur yang lain. Namun, ia mengungkapkan petani di lereng Merapi dan Merbabu biasanya mengandalkan bertani tembakau untuk memenuhi kebutuhan seperti menyekolahkan anak.

“Kalau sayur gitu kan memang banyak tapi harganya enggak selalu tinggi. Apalagi ketika pasokan banyak begitu kan harga ambles,” ujarnya.

Baca juga: Sri Mulyani: Rokok Jadi Pengeluaran Terbesar bagi Rumah Tangga

Lebih lanjut, Ahmad mendapatkan informasi dari manajemen pabrik yang nantinya untuk pasar rokok yang akan datang membutuhkan rokok dengan kadar nikotinnya rendah. Hal tersebut karena masyarakat secara umum yang merokok semakin banyak akan tetapi tidak kuat membeli rokok yang premium.

Ia melanjutkan, akhirnya pabrik akan memproduksi rokok dengan kadar nikotin rendah dengan harga lebih terjangkau.

“Kalau kadar nikotin rendah begitu kan tembakaunya di dataran rendah, kalau yang di Merapi Merbabu atau Temanggung gitu kan kadar nikotinnya tinggi. Karena umur tanam hingga panen itu di kami enam bulan baru dipetik, kalau yang di sawah itu kan tiga bulan,” kata dia.

Ahmad menjelaskan petani di dataran tinggi biasanya menanam di bulan Maret dan panen pada Agustus.

Selanjutnya, jika harga tembakau masih terus diberi harga murah maka panen akan terus merugi. Dampaknya, bisa-bisa petani tidak ingin menanam tembakau. Padahal, jelasnya, harga pupuk terus naik akan tetapi tembakau kering dihargai murah.

Baca juga: Kenaikan Cukai Rokok Berdampak ke Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi 2023

“Misal dari pemerintah selalu menaikkan cukai terus, mungkin lho, mungkin 2023, 2024, dan seterusnya pabrik bisa saja tutup karena petani enggak menanam tembakau dan beralih ke sayur lain,” kata dia.

Maka dari itu, ia meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan kenaikan bea cukai rokok mulai tahun depan sebesar 10 persen.

“Harapannya dari kami, mbok pemerintah ada kebijakan tentang masyarakat secara luas bea cukai jangan selalu dinaikkan, karena satu batang rokok menyerap tenaga hampir seribuan. Mulai dari yang menanam, yang mengelola, yang merajang, sampai kering sudah menyerap beberapa tenaga kerja. Belum juga yang membuat satu gelintir rokok,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya