SOLOPOS.COM - Petugas kesehatan Puskesmas Ngrampal melakukan penyemprotan insektisida saat fogging di lingkungan Dukuh Pilangsari, Desa Pilangsari, Kecamatan Ngrampal, Sragen, Selasa (6/2/2024). (Istimewa/Nugroho)

Solopos.com, SRAGEN — Dinas Kesehatan (Dinkes) Sragen mengumpulkan petugas rumah sakit (RS), puskesmas, klinik, dan bidan swasta untuk berkoordinasi terkait percepatan penanganan kasus demam berdarah dengue (DBD), Selasa (6/2/2024) ini. Koordinasi itu dilakukan Dinkes mengingat kasus DBD meroket sampai 46 kasus per Senin (5/2/2024) sore.

Pada Jumat (2/2/2024) lalu jumlah kasus DBD di Sragen masih 38 kasus dan dalam waktu tiga hari naik menjadi 46 kasus. “Kami koordinasi terkait bagaimana kecepatan penanganan, kecepatan rujukan, kewaspadana rumah sakit, pelaporan KDRS [kewaspadaan dini rumah sakit] harus cepat, termasuk beberapa hal yang disampaikan teman-teman di faskes [fasilitas kesehatan] I untuk pencegahan dan edukasi masyarakat,” ujar Kepala Dinkes Sragen, Udayanti Proborini, kepada wartawan, Senin (5/2/2024) sore.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Seperti adanya kasus kematian kedua di Dukuh Pilangsari, Desa Pilangsari, Kecamatan Ngrampal, Sragen, Udayanti pun langsung gerak berkoordinasi dengan Camat Ngrampal untuk segera melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan fogging. Jauh hari Dinkes sudah menekankan kepada 25 puskesmas untuk mengajak warganya PSN serentak rutin.

Khusus di Pilangsari, Udayanti meminta camat untuk terus mengingatkan warganya untuk PSN, terutama di lingkungan rumah masing-masing. Semua lubang yang dapat menampung air, ujar dia, ditutup karena bisa untuk sarang nyamuk.

Dia mengatakan peningkatan kasus DBD menyebar di beberapa kecamatan dan yang paling banyak masih di Sumberlawang dengan delapan kasus dari total 46 kasus DBD. Dua kasus di Pilangsari, Kecamatan Ngrampal, belum termasuk karena KDRS baru masuk ke Dinkes Senin sore.

Udayanti mengatakan Dinkes memiliki DBD elektronik untuk membaca kasus demam itu masuk demam dengue (DD) atau DBD. Sistem itu bisa membaca ketika komponen data pemeriksaan laboratorium dimasukan, seperti trombositnya, hematokritnya, dan seterusnya. Untuk kasus DBD biasanya trombositnya turun dan hematokritnya naik sampai 20%.

“Nah, kasus kematian anak lima tahun di Pilangsari itu trombositnya memang di bawah 100, hematokritnya hanya 42 dan kenaikannya tidak mencapai 20%. Saat masuk RS ternyata ada diare akut. Jadi secara klinis sebenarnya DBD, tetapi begitu dicek lewat sistem DBD elektronik kasus tersebut masuknya DD,” jelasnya.

Meskipun masuk kategori DD, Udayanti menyatakan penanganan lingkungannya tetap menggunakan standar penanganan kasus DBD.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya