SOLOPOS.COM - Direktur Yayasan Kakak Solo, Shoim Sahriyati (Istimewa)

Solopos.com, SOLO–Sosok Shoim Sahriyati adalah satu dari sedikit orang yang mau menekuni isu anak dan pemenuhan hak-hak mereka yang masih timpang. Terlebih di Kota Solo juga tidak banyak organisasi masyarakat sipil yang berkonsentrasi pada isu anak.

Sudah 20 tahun Shoim Sahriyati aktif dalam berbagai aktivitas advokasi isu anak. Bagi Direktur Yayasan Kepedulian untuk Anak Surakarta (Kakak) ini, masalah anak tidak terbatas dalam lingkup pendidikan formal.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Dia melihat bagaimana hak-hak anak terpenuhi, mulai dari hak atas pendidikan, lingkungan sehat, hingga perlindungan hukum.

Kepedulian Shoim terhadap anak itu tidak datang tiba-tiba. Ada perjalanan panjang yang membawa Shoim memilih untuk terus aktif dalam dunia pendampingan anak-anak. Semua tak lepas dari situasi pada masa kecilnya.

Shoim adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Sang ibu meninggal dunia sejak dia masih duduk di bangku SMP. Setelah itu, Shoim tinggal bersama ayah dan ibu sambung. Dengan demikian, perjalanannya menuju masa dewasa tidak dilalui bersama sang ibu kandung.

Saat beranjak dewasa, sang ayah yang berprofesi sebagai guru ingin Shoim meneruskan jejaknya. Harapan itu terus hidup dalam pikirannya meskipun dia menempuh kuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.

“Bapak ingin saya jadi dosen. Saya pernah mengajar setelah lulus 1997 sebagai guru privat, sebab [saya] sregep dan serius belajar,” kata Shoim saat berbincang dengan Solopos.com di Kantor Yayasan Kakak, Jl. Flamboyan Dalam No.1, Purwosari, Kecamatan Laweyan, Solo, Kamis (25/5/2023).

shoim sahriyati
Shoim Sahriyati (paling kiri) bersama anak-anak di depan Kantor Yayasan Kakak, Purwosari, Laweyan, Solo, beberapa waktu lalu. (Istimewa)

Kebetulan, saat itu berdekatan dengan krisis ekonomi 1998. Pada era krisis dan menjelang reformasi itu, Shoim juga pernah mengikuti sebuah proyek yang dikerjakan oleh UNS. Proyek itu sebetulnya tak begitu besar, namun mengharuskan Shoim berpindah ke Kabupaten Wonogiri.

Daerah di bagian selatan Soloraya itu memiliki aksesibilitas yang berbeda dibandingkan dengan Kota Solo. Di sana, dia bertemu berbagai lapisan dan kondisi masyarakat. Di situlah dia mulai mempelajari profil kehidupan orang tua dan anak-anak setempat.

Dari Kecamatan Baturetno, Wonogiri, itu Shoim mulai mengenal isu tentang anak. Ketertarikan mendalam terhadap masalah anak itu diperkuat dengan bertambahnya jaringan, baik para lulusan baru dari berbagai jurusan, aparat pemerintah, dan masyarakat setempat.

Setelah dua tahun tinggal di Wonogiri, Shoim menikah dan enam bulan setelahnya kembali ke Solo. Meski demikian, ketertarikannya terhadap isu anak tak pernah berkurang. “Lama-lama kok saya tersentuh ketika ketemu orang tua dan anak dengan segala kondisinya,” kata wanita kelahiran Solo, 26 Oktober 1972.

Riset tentang Anak

Ketertarikannya terhadap pemenuhan hak-hak anak mendorong Shoim semakin serius mempelajari masalah anak di Kota Solo. Shoim terlibat dalam penelitian dan bergabung dengan organisasi yang fokus dalam isu anak.

Pada 2002, Shoim bergabung dengan Yayasan Kakak. Sepulang dari Wonogiri, dia kerap mengikuti program-program riset. Dia mengakui terlalu lama meninggalkan dunia arsitektur. Hingga akhirnya dia mengikut riset Yayasan Kakak tentang potret anak-anak dengan capaian pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.

Shoim melihat berbagai kecenderungan perilaku dari berbagai macam pekerjaan. Yang dia pelajari adalah bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat tentang ASI dan sumber informasi mereka.

Shoim Sahriyati yayasan kakak
Shoim Sahriyati (Istimewa)

Di Yayasan Kakak, Shoim banyak belajar persoalan kepedulian dan idealisme dari Emmy Lucy Smith dan Nining S. Muktamar yang kini menjabat sebagai Pembina Yayasan Kakak. Baginya, dalam yayasan pendampingan dan isu sosial seperti Kakak, idealisme pimpinan sangat berpengaruh terhadap arah gerakan.

“Di Kakak pegang isu itu sampai pada akhirnya saya ingat mendampingi ibu-ibu, akrab dengan mereka,” lanjutnya. Kiprah yang sudah lama memberi Shoim banyak pengalaman. Dia akhirnya bisa cukup dekat dengan anak atau orang dewasa yang tengah didampingi oleh yayasan.

Shoim kerap dianggap mudah akrab dengan masyarakat, mudah menjangkau mereka, mengobrol, dan membaca situasi. Hal itu pula yang dia lakukan bersama Yayasan Kakak mendampingi anak-anak di lingkaran prostitusi.

Proses itu tidak instan. Banyak hal harus dipetakan untuk mengetahui bagaimana seorang pendamping bisa diterima dan masuk dalam kehidupan korban. Apa lagi Yayasan Kakak banyak mendampingi anak-anak yang secara emosional tentu berbeda.

Lebih dari itu, Shoim Sahriyati dan timnya harus berhadapan dengan dinamika dan perubahan perilaku masyarakat hingga melakukan aksi untuk meresponsnya. Karenanya Shoim dan rekan-rekannya harus selalu mengevaluasi hasil temuan dan laporan yang rutin dilakukan akhir tahun. Evaluasi itu digunakan sebagai bekal untuk mewujudkan kerja-kerja yang adaptif dan solutif selanjutnya.

Dia mencontohkan periode awal bergabung di Yayasan Kakak. Saat itu, Shoim melihat kebanyakan anak yang menjadi korban dalam sebuah kasus cenderung mengurung diri, enggan keluar rumah, tidak mau bersosialisasi dengan lingkungannya, tidak mau bersekolah, kerap menangis, dan cenderung menyendiri.

Namun, kini setelah terjadi perubahan kecenderungan, teknologi, dan variasi kasus, dampak bagi korban juga berubah. Kondisi psikologis anak sebagai korban kekerasan sangat berbeda dibandingkan 10-20 tahun lalu.

MoU UMS Yayasan Kakak KTR kampus
MoU Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dengan Yayasan Kepedulian untuk Anak (Kakak) untuk komitmen bersama menjadikan lingkungan kampus sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Auditorium kampus setempat, Senin (20/3/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Apalagi saat ini korban merasa seolah bukan menjadi korban. Kondisi itu juga memicu tekanan dari luar dan berpotensi membuat anak resisten. “Imbasnya, masyarakat banyak yang bilang ‘kok korban kaya ngono’, seperti tidak jadi korban. Itu lebih sulit dan kasihan,” kata dia.

Di situlah tantangan besar muncul dan memaksa para pendamping upaya hal selain menyelesaikan kasus. Sebelum menangani kasus, Shoim dan rekan-rekannya harus menyadarkan para korban akan hak-hak mereka.

Di sisi lain, Shoim mengakui banyak belajar dari anak-anak yang dia dampingi. Salah satunya adalah pengalaman menantang yang dia peroleh saat memberikan pendampingan psikologis bagi anak-anak korban bencana letusan Gunung Merapi.



Selain belajar dari pengalaman, Shoim juga memperkaya kemampuannya dengan belajar secara informal dari berbagai kesempatan. Misalnya saat dia berkesempatan mengikuti berbagai pelatihan pendampingan dan advokasi di berbagai negara.

Membangun Kepercayaan

Pengalaman-pengalaman ini dia turunkan kepada seluruh staf dan pegiat Yayasan Kakak. “Belajar informal di Thailand, Malaysia, di banyak wilayah di Indonesia,” kata Shoim.

Intinya, kata Shoim, setiap aktivis atau pendamping anak harus bisa membangun kepercayaan kepada anak atau korban. Hal itu menjadi gerbang pertama untuk mengetahui dan menganalisis permasalahan yang diderita anak. Tanpa kepercayaan, sulit bagi anak untuk mau bercerita apa yang mereka alami.

“Bagi saya tugas pertama adalah membangun trust [kepercayaan], sebab di keluarga dan masyarakat mereka pasti diperlakukan tidak adil,” katanya.

Sejumlah anggota Forum Anak Sukowati (Forasi) bersama Yayasan Kakak Solo dan Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP2KP3A) Sragen menggelar aksi kampanye antirokok saat berlangsungnya CFD di Alun-alun Sragen, Minggu (12/2/2023). (Solopos/Tri Rahayu)

Budaya disiplin pun diperlukan agar selama pendampingan tak ada langkah keliru. Yayasan Kakak punya aturan terkait bagaimana seharusnya pendampingan itu dilakukan selain melihat konteks kasus yang terjadi. Misalnya setiap pegiat yayasan tidak boleh bersimpati terhadap korban dengan cara memberi uang atau fasilitas berlebih kepada korban karena dapat menimbulkan masalah baru.

Shoim tak menampik tugas-tugas pendampingan sangat berat. Namun, ada upaya untuk terus merawat kesehatan dan pikirannya dan para pegiat Yayasan Kakak lainnya. Salah satunya dengan terus membangun hubungan yang komunikatif, asertif, terbuka, dan memberikan layanan pendampingan juga kepada para pegiat.

“Pendamping pun tetap dapat pendampingan psikologis dari beberapa relawan yang memang punya kapabilitas di sana,” pungkas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya