Soloraya
Senin, 15 Oktober 2012 - 14:17 WIB

Demi Dapur, Pekatnya Aroma Tembakau Tak Dirasakan Lagi

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah perempuan melipat daun tembakau di Desa Borangan, Manisrenggo, Klaten. (JIBI/SOLOPOS/Arief Setiadi)

Sejumlah perempuan melipat daun tembakau di Desa Borangan, Manisrenggo, Klaten. (JIBI/SOLOPOS/Arief Setiadi)

Melipat daun tembakau menjadi salah satu aktivitas ibu-ibu usia lanjut di Desa Borangan, Kecamatan Manisrenggo, Klaten. Di antara mereka ada Kerto, 75, Marti, 55, Saminen, 60, Semi, 63, dan Marjo, 60. Menurut mereka, daun tembakau basah yang telah dilipat nantinya dirajang dan siap dijual. Daun tembakau itu milik pengepul Sardi Siswo Harjono, yang dibeli dari para petani di wilayah lereng Merapi.
Advertisement

Usia yang sudah tidak muda lagi sepertinya tidak menjadi masalah. Lipatan demi lipatan daun tembakau mereka hasilkan dalam waktu sangat cepat. Menurut Kerto, setiap harinya mereka bisa melipat puluhan kuintal daun tembakau basah. Dari lipatan tembakau itulah mereka dapat membantu suami mencari uang demi menyambung hidup.

Kerto menambahkan setiap hari dirinya dan beberapa temannya memulai pekerjaan itu pada pukul 07.00 WIB hingga sore hari pukul 16.00 WIB. Hal itu tergantung dari jumlah tembakau yang mereka lipat. Bayaran yang mereka dapatkan dari melipat tembakau itu seolah tidak berbanding dengan kesehatan dan kerja keras yang mereka lakukan setiap harinya. Rasa sesak di dada akibat menghirup aroma daun tembakau, sering mereka alami. Tetapi rasa sesak itu mereka buang jauh-jauh demi sejumlah uang.

“Melipat tembakau itu bikin capek mas, tapi mau bagaimana lagi, dari pada tidak bekerja sama sekali,” ujar Kerto, yang merupakan pelipat tembakau tertua di desa itu. Imbalan hasil melipat tembakau Rp25.000-Rp35.000 setiap hari yang berlaku saat harga tembakau sedang tinggi.

Advertisement

Jika tembakau harganya anjlok, para pelipat itu mengatakan upahnya juga akan ikut menurun. Menurut Kerto, bekerja sebagai pelipat tembakau itu hanya musiman saja. “Paling lama dua bulan dalam setahun, bahkan kadang dalam setahun juga tidak ada tembakau sama sekali,” ujar Kerto.

Menyambung cerita Kerto, Marti mengatakan faktor keperluan dapur yang membuat dirinya bekerja melipat tembakau. Selain itu, pekerjaan suaminya sebagai buruh, membuat dirinya harus memutar otak untuk mencari uang, untuk keperluan sehari-hari. “Yang penting bisa untuk makan dan membeli keperluan dapur,” sambung Marti. Sementara itu, Sardi Siswo Harjono, mengatakan mayoritas pelipat tembakau di wilayah Borangan adalah perempuan yang berusia lanjut. Menurutnya para wanita lebih rajin dan terampil saat melipat jika dibandingkan kaum laki-laki.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif