SOLOPOS.COM - Jumiati melayani pembeli di tempat dhasarannya di Pasar Gede, Rabu (23/12/2020). Selama pandemi, pedagang berangkat ke pasar lebih siang. (Solopos.com-Ayu Prawitasari)

Solopos.com, SOLO — Lampu sisa semalam masih menyala di beberapa sudut Pasar Gede, pukul 06.00 WIB. Barisan kendaraan yang biasanya memenuhi tempat parkir, Rabu (23/12/2020) pagi itu tak tampak. Hanya beberapa sepeda motor yang bisa dihitung dengan jari.

Juru parkir (jukir) seperti tak punya kerjaan, duduk-duduk saja, mengobrol kesana kemari dengan rekan-rekan mereka. Berbeda dengan kondisi pasar sebelum pandemi Covid-19 yang selalu penuh sesak, hari itu tak ada pengunjung yang meminta bantuan jukir untuk menempatkan kendaraan mereka.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Tak ada pula lalu lalang orang yang kerap terlihat di pintu masuk pasar tertua di Kota Solo tersebut. Meski langit pagi sangat biru, keramaian belum juga menghampiri pasar. Beberapa pedagang baru saja datang, namun kebanyakan kios masih ditutup terpal. Bagian kuliner pun masih sepi.

Ini Kiat Membeli Rumah Sesuai Fengsui

“Yang jualan baru datang pukul 06.30 WIB,” seru seorang pedagang kepada calon pembeli yang berdiri mematung di tempat penjual lenjongan, Yu Sum. Etalase lenjongan Yu Sum pagi itu belum terisi olahan singkong dan gatot. Parutan kelapa dan cairan gula jawa juga belum nampak di meja. Pandemi membuat para penjual berangkat ke pasar lebih siang.

Di bagian jamu tradisional kondisinya sama saja. Hanya Sartini, 62, yang sudah memulai aktivitas. Pedagang empon-empon dan jamu tradisional dalam kemasan itu mengaku sudah terbiasa beraktivitas sejak pagi. Dengan sepeda motor, ibu dua anak dan lima orang cucu, itu berangkat dari Telukan, Sukoharjo, menuju Pasar Gede seorang diri.

“Sejak 1975 saya berjualan di pasar ini. Dulu berangkatnya pakai pit onthel [sepeda kayuh], kalau sekarang brompit [sepeda motor]. Sudah biasa berjualan pagi. Tapi, dulu saya tidak berjualan jamu, saya jualan kelapa,” kata dia saat dijumpai Solopos.com di kiosnya, Rabu.

Maling Motor Apes Tepergok Pemilik, Viral Deh…

Kios Sartini tak besar, sekitar 2 meter x 2 meter tanpa sekat. Berbeda dengan pasar rakyat lain di Solo, tidak ada sekat-sekat kios di pasar Gede. Pembatas antarpedagang hanyalah barang dagangan. Di dalam kios Sartini masih terlihat mesin parut kelapa.

“Kadang ada pelanggan lama yang datang. Jadi tetap saya layani. Kasihan kan kalau mereka terlanjur datang, tapi tidak terlayani,” begitu alasan Sartini soal keputusannya mempertahankan mesin parut tersebut. Bagi perempuan itu, berdagang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun juga melayani sesama manusia.

Wedang Uwuh

Tren wedang uwuh pada 2014 di Jogja membuat Sartini banting setir. Dia tak lagi berjualan kelapa, namun berganti menjual berbagai macam empon-empon segar dan kemasan. Ada  wedang uwuh kemasan, bubuk jahe, asam kemasan, dan masih banyak lagi yang lain di kiosnya. Semua harga produk kemasan sama, Rp22.000 per bungkus. Harga satu bal yang berisi 10 bungkus adalah Rp220.000.

Tanaman Hias Kata Fengsui Tentukan Keberuntungan

Sambil menata dagangan di pasar yang lengang, Sartini bercerita. Dia masih ingat benar kondisi pasar pada awal-awal pandemi. Pesanan dari para bakul, sebutan Sartini untuk para reseller, membuatnya kewalahan. Banyak dari mereka yang harus pesan dulu karena barang tak ada. Empon-empon menjadi barang yang paling dicari. Lima bal empon-empon bisa habis dalam sekejap. “Tak sampai sehari,” kata Sartini tertawa. Padahal tenaga untuk meracik dan membungkus empon-empon sangat terbatas.

Namun, ketika serangan Covid-19 makin menjadi, pesanan empon-empon justru menurun. Sartini menduga orang-orang mulai bosan mengonsumsi jamu. Hingga menjelang akhir tahun, pesanan terus menurun, terlebih setelah Pasar Gede sempat ditutup selama sepekan pada awal Desember akibat 11 pedagangnya terkena Covid-19.

Jumlah pembeli yang datang ke pasar untuk membeli empon-empon basah makin sedikit karena mereka ketakutan. Saat itulah Sartini sadar bahwa kondisi pasar telah berubah. Digitalisasi menjadi kunci para pedagang bertahan.

Maling Kembalikan Celana Dalam dengan Bekas Sperma

“Sayangnya saya tidak bisa jualan online. Jadi ya sekarang sebatas melayani bakul lewat Whatsapp dan paketan. Yang mengurus itu semua mantu perempuan saya karena saya tidak paham soal-soal begituan. Alhamdulillah mantu saya itu pinter dan cekatan.” Bukan hanya mengurusi pembelian via Whatsapp, menantu Sartini juga membuatkan label hingga pengemasan. Sartini pun tinggal terima jadi.

Pembagian tugas pun tercipta. Saat sang menantu sibuk mengurusi pengemasan, Sartini menajaga kios di Pasar Gede. Bagi Sartini muda hingga kini memasuki usia senja, Pasar Gede tak bisa dipisahkan dari hidupnya. Pasar Gede adalah rumah keduanya.

“Pembeli selalu datang setiap saat, jadi saya tak pernah libur berjualan. Saya harus ada untuk pelanggan.” Libur bagi Sartini hanyalah ketika keluarganya punya hajatan atau menghadiri hajatan kerabat. Selebihnya, ia hidup di pasar.

Lesty Kejora Masuk Daftar 10 Perempuan Tercantik Dunia

Lima saudara Sartini juga berjualan di pasar. Hampir semua sahabatnya adalah pedagang. Untuk meramaikan Pasar Gede, menurut Sartini, memang harus dilakukan bersama-sama. Bangkit bersama sahabat adalah kata kunci menjadikan Pasar Gede kembali hidup sehat seperti sebelum pandemi. Tanpa kehadiran pedagang, Pasar Gede sepi.

Pagi terus merangkak. Seorang pembeli yang datang membuat Sartini menghentikan percakapan. Di gang-gang pasar mulai terlihat pengunjung yang lalu-lalang. Pedagang-pedagang mulai menghidupkan speaker aktif mereka. Lagu-lagu barat dan campursari bertabrakan. Pasar mulai hidup. Begitu juga di lapak Yu Sum.

Jumiati, anak Yu Sum, baru saja selesai melayani pembeli di antrean akhir. Tangannya yang dibungkus plastik kini bisa beristirahat. Di balik maskernya, perempuan itu menarik napas panjang. “Ahamdulillah, mulai ramai,” kata dia.

Cekik Anggota Staf, Video Oknum Camat di Kota Sofifi Viral

Semenjak pandemi, Jumiati mengatakan ibunya tidak lagi berjualan di pasar. Usia Yu Sum yang tak lagi muda membuatnya rentan terpapar Covid-19. Apalagi jumlah pengunjung juga berkurang drastis. Jumiati meminta ibunya hanya memasak di rumah, tak ikut berjualan di pasar.

Bagi pencinta kuliner rakyat, lenjongan Su Sum telah menjadi legenda. Racikan tiwul, gatot, ketan hitam, cenil, jongkong, sawut, gethuk, klepon, grontol, dan lupis yang diberi topping parutan kepala serta cairan gula jawa menjadi salah satu makanan khas Solo yang terkenal dan banyak di-review media massa maupun para travel blogger. Pelanggan Yu Sum bukan hanya orang Solo, melainkan juga warga dari luar daerah.

Jumiati bercerita lenjongan dagangannya pernah dikirim ke Jakarta menggunakan pesawat. Parutan kelapa dan gula jawa dipisah agar makanan tak bau. Pelanggan puas dengan layanan itu. Berangkat dari pengalaman itu, Jumiati mulai merintis penjualan lewat market place. Untuk layanan lewat Go Food maupun Whatsapp, menurut dia, sudah berjalan.

Buntelan Kain Kafan Berisi Foto Sejoli di Makam Keramat Viral

Jumiati yang sebelum pandemi aktif di festival-festival kuliner memang sangat akrab dengan dunia digital. Terlebih, menurut dia, dagangannya adalah dagangan yang unik. Substansi lenjongan bukan hanya makanan, namun juga kenangan dan peradaban yang mengunggulkan selera manusia. Lenjongan yang awalnya hanya dikonsumsi orang tidak mampu karena beras pada masa lalu hanya bisa diakses orang kaya, kini bisa dinikmati semua kalangan.

“Saya tidak ingat persis kapan ibu mulai berjualan lenjongan di Pasar Gede, yang jelas sejak puluhan tahun lalu. Waktu saya masih kecil, saya ingat sekali ibu selalu naik pit lalu naik perahu dari Bekonang untuk berjualan ke Pasar Gede. Waktu itu Jembatan Mojo kan belum ada. Lenjongan masa itu juga masih sederhana, bahannya tidak selengkap sekarang.”

Rindukan Keramaian

Sama seperti Sartini, Jumiati rindu Pasar Gede yang ramai seperti saat sebelum pandemi. Dia rindu para orang tua dan anak-anak mereka yang datang ke pasar pagi-pagi sekali, membeli lenjongan untuk sarapan; rindu turis-turis lokal dan mancanegara yang antusias menikmati lenjongan; rindu festival pasar rakyat, dan rindu acara-acara budaya yang melibatkan pedagang Pasar Gede. “Semoga pandemi segera berlalu,” harapnya.

Tiktokers Usulkan Cara Bayar Utang Indonesia, Begini Caranya…

Keresahan para pedagang dirasakan betul Lurah Pasar Gede, Agus Suharto. Pedagang Pasar Gede maupun pedagang pasar rakyat lain, menurut dia, benar-benar terpukul akibat pandemi. Setelah empat bulan tutup, tepatnya setelah Solo dinyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) Covid-19, Pasar Gede harus tutup lagi pada awal Desember.



Bantuan masker hingga program-program pemberdayaan dari pemerintah, BUMN, swasta, maupun komunitas untuk pedagang selama pandemi, kata Agus, menjadi faktor Pasar Gede bertahan. “Yang memberi bantuan banyak sekali, maaf saya tidak hafal. Namun, yang jelas, saya berharap keterlibatan itu dapat dipertahankan pada tahun depan supaya Pasar Gede bangkit,” kata dia.

Pasar rakyat sebagai penggerak ekonomi sekaligus bagian dari budaya masyarakat memang mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Bank Jateng di laman bankjateng.co.id, misalnya, menyebut terus memaksimalkan layanan transaksi nontunai di seluruh pasar rakyat di Jateng. Layanan itu meliputi pembayaran lewat e-retribusi hingga aplikasi berbasis QR Code Indonesia Standard (QRIS). Hal yang sama dilakukan Bank BNI.

Jadi Beban Keluarga, Pria Sumut Dicoret dari Keluarga, Begini Kisahnya…

Sementara untuk unsur swasta, Adira Finance di laman resminya menyebut telah membuat Program Festival Pasar Rakyat 2020 yang memprioritaskan pada kegiatan pencegahan Covid-19 lewat pembagian masker, webinar tentang digitalisasi pasar, hingga pendampingan kepada pedagang agar lebih melek digital. Adira berharap kegiatan corporate social responsibility-nya mampu membuat pasar rakyat sebagai etalase kekayaan daerah dapat bertahan.

Lembaga nonprofit, seperti PMI, juga tidak mau ketinggalan. Selain terus menyosialisasikan protokol kesehatan dan penyemprotan disinfektan, PMI Solo menggelar pelatihan membuat sabun untuk pedagang Pasar Gede pada Agutus lalu. Harapan yang terlantun sama, Pasar Gede sebagai pasar di tengah kota yang menjadi jujukan masyarakat dapat bertahan.

Pukul 08.00 WIB. Tangan kanan Jumiati kembali bergerak, mencuil bongkahan olahan singkong dan gaplek di etalase, lalu menaruhnya di bungkus kertas yang dilapisi daun di tangan kirinya. Isi etalase itu menyusut cepat seiring tubuh kecil Jumiati yang perlahan tenggelam di lingkar antrean pengunjung. Keringat membasahi wajahnya, namun matanya yang bersinar terlihat di sana.

Perhatikan Warna Cat Kamar Bayi, Fengsui Bilang Bisa Tenangkan Mood

Pasar Gede di Usia Senja

Cikal bakal Pasar Gede adalah pasar yang berdiri di tengah permukiman warga Tionghoa di luar tembok Keraton Solo.

Biaya pembangunan Pasar Gede yang didesain arsitek Belanda Thomas Karsten senilai 650.000 Gulden atau setara 2,47 miliar pada masa Kolonial Belanda.



Diresmikan Pakubowono X pada 12 Januari 1930 dengan nama Pasar Gede Hardjonegoro. Nama Hardjonegoro diambil dari seorang keturunan Tionghoa yang mendapat gelar KRT Hardjonegoro. Nama dan entitas Pasar Gede menjadi simbol harmoni kehidupan sosial di Solo.

Sumber: Jurnal Ilmiah Seni Budaya, 2017 (aps)

Kantong Kering, Pria dari Balikpapan Nekat Menyeberang Laut Pakai Galon

Denyut 24 Jam Pasar Gede

Aktivitas Pelaku Sifat Kegiatan
Berjualan Pedagang Setiap hari
Berbelanja Pembeli Setiap hari
Distribusi barang Kuli Setiap hari
Parkir kendaraan Jukir Setiap hari
Pengelolaan Petugas pasar Setiap hari
Sosialisasi dan koordinasi Petugas pasar dan paguyuban pedagang Sebulan dan Setahun sekali
Festival pasar Komunitas pedagang Setahun sekali
Grebeg Sudiro Masyarakat, komunitas, pedagang, pemerintah, lembaga swasta Setahun sekali
Peringatan Batik Nasional Paguyuban pedagang Tentatif
Informasi produk Pemerintah, pedagang Setiap hari
Sirkulasi/transportasi Semua komponen Setiap hari
Bongkar muat Pedagang, pembeli, kuli pasar Setiap hari
Rekreasi Masyarakat Tentatif

Kata Fengsui Kendaraan di Depan Rumah Pengaruhi Energi Positif

Siklus Harian Pelaku Aktivitas
24.00 WIB-06.00 WIB Bongkat muat truk dan pikap dari luar kota
06.00 WIB-10.00 WIB Pembeli grosiran atau pemilik restoran
10.00 WIB-22.00 WIB Pembeli eceran, masyarakat sekitar Soloraya
19.00 WIB-24.00 WIB Pengunjung warung makan dan angkringan

Sumber: Conference of Urban Studies and Development 2015 (aps)

KLIK dan LIKE untuk lebih banyak berita Solopos





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya