Soloraya
Senin, 6 Maret 2023 - 17:30 WIB

Derita Petani Sragen Korban Banjir, Ongkos Panen Mahal Padi Tak Laku Dijual

Tri Rahayu  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Petani di Dukuh Bulakrejo, Desa Tangkil, Kecamatan Sragen, memanen padinya yang masih basah dan bercampur lumpur karena terendam banjir luapan Bengawan Solo selama dua hari. Foto diambil Senin (6/3/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Suara mesin thresher atau perontok padi terdengar bising di jalan persawahan yang menghubungan Dukuh Bulakrejo menuju ke Dukuh Gabusan, Desa Tangkil, Kecamatan Sragen, Kabupaten Sragen, Senin (6/3/2023). Kendati matahari menyengat siang itu, empat petani sibuk memanen padi yang terlalu basah dan ada yang masih bercampur lumpur tipis.

Areal persawahan di sepanjang jalan itu terendam air luapan Bengawan Solo selama dua hari dua malam, Kamis-Jumat (2-3/3/2023) lalu. Ada puluhan hektare sawah yang terendam.

Advertisement

Setelah surut pada Sabtu (4/3/2023) para petani tak langsung memanen padi mereka. Mereka membiarkan dulu sembari mengering dan mencari pembeli untuk padinya. Seperti yang dilakukan Gito, 71, petani asal Dukuh Bulakrejo RT 001/RW 013, Desa Tangkil.

Ia memiliki padi di lahan kas desa yang disewanya tahunan. Luas sawah yang digarapnya kurang dari satu patok. Sawahnya juga ikut terendam banjir selama dua hari. Gito baru memanen pada Senin pagi hingga siang.

“Orang tani benar-benar merugi pascabanjir. Ini cuma memanen 2-3 petak saja ongkosnya Rp350.000. Hasilnya hanya dapat tiga sak. Itu jadinya beras sudah hitam-hitam begitu karena kelamaan terendam air. Padi ini dijual juga tidak laku. Kalau tidak dipanen tambah rugi banyak. Ya, akhirnya dipanen seadanya,” ujar Gito saat berbincang dengan Solopos.com, Senin, di sawahnya.

Advertisement

Rugi Rp5 Juta per Patok

Gito mempekerjakan dua tenaga pemanen plus satu unit mesin thresher. Butiran padi itu dimasukan ke dalam sak yang dipegangi Ny. Gito. Gito ikut menaikan tumpukan padi yang sudah dipotongi ke dalam mesin thresher. Musim ini hasil panennya kurang baik. Gito mengaku paling hanya bisa membawa pulang 40% hasil tanaman padinya.

“Sudah pupuknya mahal. Jatah pupuk bersubsidi sedikit. Sebenarnya, pemerintah mencukupi jatah pupuk bersubsidi saja petani sudah senang,” lanjut Gito.

Kondisi senada juga dialami Kusmanto, 66. Petani asal Dukuh Bugel RT 001/RW 010, Desa Tangkil, ini menggarap lima patok tetapi yang selamat dari banjir hanya dua patok. Hasil panen padi di tiga patok lain tidak ada yang mau beli.

Advertisement

“Bakul itu saya minta bayar semaunya yang penting laku, begitu saja tidak mau. Dengan usaha maksimal, akhirnya hanya dua patok yang laku, yakni laku Rp4 juta dan Rp5,2 juta. Kalau normal lakunya bisa Rp8 juta-Rp9 juta. Ruginya 50%,” ujarnya.

Ia memperkirakan akibat banjir petani merugi Rp4 juta-Rp5 juta per patok atau sekitar Rp15 juta per hektare. Padi tidak laku dijual  karena terlalu basah dan bercampur lumpur. Akhirnya hasil panen dimakan sendiri oleh petani.

“Meski berasnya agak kehitam-hitaman tetapi masih layak dimakan. Baru kali ini pertanian di sini parah karena banjir dan curah hujan tinggi,” kata Kusmanto sembari berharap pemerintah mau menambah jatah pupuk bersubsidi supaya biaya produksi petani tidak tinggi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif