SOLOPOS.COM - Beberapa siswa bermain seusai jam pelajaran di halaman SDN 4 Pare, Selogiri, Wonogiri, Rabu (16/8/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com Stories

Solopos.com, WONOGIRI — Wulan bersekolah di SDN 4 Pare, salah satu SD yang minim murid di Kecamatan Selogiri, Wonogiri. Rabu (16/8/2023) itu, siswi kelas V tersebut tak langsung pulang seusai pelajaran sekolah karena akan mengikuti ekstrakurikuler tari.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Hampir semua siswa di SD itu mengikuti ekstrakurikuler tari. Ekstrakurikuler itu menjadi satu-satunya kegiatan nonakademik selain Pramuka di sekolah itu. Minimnya pilihan ekstrakurikuler tidak lepas dari terbatasnya anggaran yang dimiliki SDN 4 Pare.

Mereka memanfaatkan ruang kelas untuk kegiatan ekstrakurikuler karena keterbatasan ruangan. Ruang kelas itu tampak sederhana. Tidak ada jendela berkaca di ruang kelas itu, hanya kawat berjaring.

Atap gedung sekolah di pinggiran Selogiri itu juga masih berupa asbes yang sudah tampak tua dan menghitam. Beberapa sisi asbes di gedung sekolah itu bahkan sudah patah. Hanya satu bangunan yang sudah beratap genting di SDN 4 Pare yaitu bekas rumah dinas kepala sekolah.

Kini bangunan itu difungsikan menjadi gudang, dapur, sekaligus perpustakaan. SD yang minim murid di Wonogiri itu tidak bisa berbuat banyak untuk meningkatkan kualitas bangunan. Lagi-lagi karena keterbatasan anggaran. 

Sudah beberapa tahun terakhir, SD itu hanya mendapat kurang dari 10 siswa tiap tahun ajaran baru. Jumlah siswa dari kelas I-VI di SD itu saat ini totalnya 45 anak.

Pada tahun ajaran baru 2023/2024 ini, SDN 4 Pare menerima enam murid baru, lebih banyak dibanding tahun lalu yang hanya dua murid. Sementara siswa yang lulus pada tahun ini ada tiga anak. 

BOS Reguler dan BOS Daerah

Jumlah siswa yang kurang dari 60 anak berakibat minimnya anggaran yang dimiliki sekolah itu. Sebagai informasi, sumber anggaran sekolah berasal dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler dan BOS Daerah.

Menurut data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Wonogiri, BOS Reguler SD 2023 ini Rp940.000/siswa/tahun. Sedangkan BOS daerah menurut Peraturan Bupati No 41/2021 tentang Dana Program Pengelolaan Pendidikan, untuk jenjang SD Rp152.000-Rp187.000 per siswa per tahun.

SDN di Wonogiri minim murid
Beberapa siswa bermain seusai jam pelajaran di gerbang masuk SDN 4 Pare, Selogiri, Wonogiri, Rabu (16/8/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Artinya, semakin banyak sekolah memiliki siswa, dana operasional yang diterima sekolah juga semakin besar. Begitu pun sebaliknya. Selain BOS Reguler dan BOS Daerah, sebenarnya sekolah bisa mendapatkan sumber anggaran lain, yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat.

DAK itu sangat bermanfaat untuk renovasi atau pengadaan sarana dan prasarana sekolah, termasuk bangunan sekolah. Tetapi hanya sekolah tertentu yang dinilai memenuhi syarat dan ketentuan yang bisa menerima DAK.

Berdasarkan Peraturan Presiden No 15/2023 tentang Petunjuk Teknis DAK Fisik 2023, salah satu syarat sekolah mendapatkan DAK yaitu memiliki peserta didik minimal 60 anak pada jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK kecuali sekolah di daerah afirmasi.

Wonogiri bukan daerah afirmasi sehingga menurut peraturan itu, SDN 4 Pare yang minim murid jelas tidak memenuhi syarat mendapatkan DAK. Kepala Sekolah SDN 4 Pare, Kasino, mengatakan sekolahnya selama ini hanya mendapatkan sumber anggaran dari BOS Reguler dan BOS Daerah.

Pada tahun ini total BOS Reguler dan BOS Daerah yang diterima SDN 4 Pare sekitar Rp50 juta/tahun. Anggaran senilai itu untuk biaya operasional sekolah selama setahun. Termasuk membayar insentif guru non-Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). 

Anggaran Minim Bikin Sulit Berinovasi

“Jujur saja, nilai anggaran sebesar itu sangat terbatas. Jangankan untuk merenovasi bangunan, untuk operasional saja, itu sulit,” kata Kasino saat berbincang dengan Solopos.com di SDN 4 Pare, Rabu (16/8/2023).

Menurut Kasino, selain minim anggaran dan minim murid, SDN 4 Pare menjadi satu-satunya sekolah di Selogiri, bahkan Wonogiri, yang bangunannya masih menggunakan atap asbes. Padahal, atap berbahan asbes tidak sehat untuk siswa atau guru.

Serat asbes yang terhirup dapat memperburuk jaringan paru-paru sehingga mengganggu pernapasan. Sekolah berencana mengganti atap itu dengan atap genting, tetapi anggaran yang dimiliki belum memungkinkan untuk mengganti itu.

Pernah suatu waktu, kata Kasino, salah satu ruang di bangunan sekolah itu banjir karena ada kebocoran pipa air. Sekolah tidak bisa berbuat banyak untuk memperbaikinya. Beruntung, warga sekitar mau membantu memperbaiki pipa yang bocor itu sehingga air tidak lagi membanjiri ruangan di gedung sekolah. 

“Sampai segitunya. Untuk sekadar memperbaiki itu pun kami kesulitan karena memang anggarannya sangat terbatas,” ujar dia.

Dia melanjutkan beberapa waktu lalu pernah mengajukan proposal kepada pemerintah pusat agar mendapatkan bantuan DAK. Tetapi pengajuan itu tidak disetujui. 

Karenanya untuk beberapa waktu ke depan, murid SDN 4 Pare, Wonogiri, mau tidak mau tetap harus menjalankan kegiatan belajar mengajar dengan fasilitas minim dan dihantui perasaan waswas bakal sakit pernapasan.

SDN di Wonogiri minim murid
Beberapa siswa bermain seusai jam pelajaran di SDN 4 Pare, Selogiri, Wonogiri, Rabu (16/8/2023). SD itu menjadi satu-satunya yang masih menggunakan atap asbes. (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Menurut Kasino, dengan anggaran minim itu sekolah juga cukup sulit berinovasi. Bahkan untuk mengumpulkan wali murid atau komite sekolah guna meminta saran dan masukan saja, sekolah kesulitan.

Penggabungan Bukan Solusi

Untuk menghadirkan mereka, sekolah setidaknya harus menyediakan konsumsi yang membutuhkan anggaran dari sekolah. Sedangkan untuk kegiatan ekstrakurikuler, karena minim anggaran sekolah tidak bisa memberikan banyak pilihan.

Saat ini ekstrakurikuler yang bisa diikuti siswa hanya tari dan Pramuka. Sekolah sebenarnya ingin menyediakan lebih banyak pembelajaran nonakademik, tetapi lagi-lagi terkendala anggaran.

Kegiatan ekstrakurikuler membutuhkan pelatih sedangkan sekolah tak punya anggaran untuk honor pelatih tersebut. Kasino menambahkan meski selama beberapa tahun terakhir SDN 4 Pare memiliki tidak lebih dari 60 siswa, bukan berarti sekolah itu tidak diminati masyarakat.

Faktor utama sekolah di Wonogiri itu minim murid lantaran populasi anak usia masuk SD memang sedikit di sekitar sekolah tersebut. Meski minim murid, Kasino menyebut tidak berarti sekolah itu bisa digabung dengan sekolah lain. Penggabungan sekolah justru berpotensi akan menimbulkan anak putus sekolah. 

Hal itu karena jarak rumah siswa dengan sekolah semakin jauh. “Di sini saja, ada beberapa siswa yang jarak rumahnya sampai empat kilometer, bisa lebih, dari sekolah,” ucap Kasino.

Murid tersebut, kata Kasino, tinggal di pinggiran Selogiri, di pegunungan. Medan jalannya naik turun dan cukup berbahaya. Waktu tempuh dari rumah ke sekolah bisa setengah jam.

“Sekolah ini menjadi sekolah terdekat dari tempat tinggal mereka. Selain itu ada beberapa siswa yang hanya tinggal dengan kakek neneknya karena orang tua mereka merantau,” imbuhnya.

Dia menambahkan mayoritas SD negeri di Kecamatan Selogiri, Wonogiri, mengalami nasib serupa dengan SDN 4 Pare, minim murid dan minim anggaran. 

Wulan adalah salah satu siswi SDN 4 Pare yang rumahnya di Dusun Ngringrin, Desa Keloran, Selogiri, jaraknya empat kilometer dari sekolah. Setiap hari Wulan berangkat dan pulang dengan orang tua menggunakan sepeda motor. “Kalau tidak ada yang mengantar, biasanya saya tidak berangkat sekolah,” kata Wulan. 

Aturan Pemberian DAK Dinilai Diskriminatif

SDN 4 Pare hanyalah satu contoh SD  yang minim murid yang berakibat minimnya anggaran sekolah di Wonogiri. Kepala Bidang Pendidikan Dasar Disdikbud Wonogiri, Gino, menerangkan berdasarkan hasil Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2023/2024, dari sekitar 790 SD negeri/swasta, 41 persennya atau 319 SD memiliki kurang dari 60 siswa.



Menurut Gino, berdasarkan petunjuk teknis, 319 sekolah itu memang tidak akan mendapatkan DAK. Dia menyampaikan sudah beberapa kali mengusulkan sekolah yang memiliki kurang dari 60 siswa untuk mendapatkan DAK.

Tetapi usulan itu berkali-kali juga tidak disetujui. Sekolah yang mendapatkan DAK tetap sekolah yang memiliki lebih dari 60 siswa. “Mereka yang tidak dapat DAK dari pemerintah pusat, kami bantu anggaran dengan BOS Daerah,” kata Gino dia.

Data yang dihimpun Solopos.com dari Disdikbud Wonogiri, pada 2023 ini total BOS Daerah yang digelontorkan Pemkab Wonogiri untuk 745 SD negeri dan 50 SD swasta senilai Rp13,1 miliar. Sedangkan total BOS Reguler dari pemerintah pusat untuk 745 SD negeri dan 28 SD swasta senilai Rp60,36 miliar.

SDN di Wonogiri minim murid
Beberapa siswa mengikuti ekstrakurikuler tari seusai jam pelajaran di SDN 4 Pare, Selogiri, Wonogiri, Rabu (16/8/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Sementara itu, SD yang menerima DAK dari pemerintah pusat pada 2023 ini hanya 17 sekolah dengan nilai anggaran Rp8,8 miliar. Bupati Wonogiri, Joko Sutopo, menilai kebijakan pemerintah pusat yang hanya memberikan DAK kepada SD dengan jumlah siswa lebih dari 60 anak itu diskriminatif.

Seharusnya jumlah siswa tidak menjadi parameter untuk menentukan penerima DAK. Dengan kondisi itu, maka akan banyak SD di Wonogiri yang memiliki sarana prasarana tidak memadai karena banyak sekolah minim murid.

Menurut dia, kebijakan itu justru kontradiktif dengan kebijakan PPDB sistem zonasi yang salah satu tujuannya menyetarakan kualitas sekolah.

Kebijakan DAK Rawan Munculkan Ketimpangan

Pengamat pendidikan Wonogiri, Mulyadi, juga menilai kebijakan pemerintah pusat yang memberikan DAK kepada sekolah dengan jumlah siswa lebih dari 60 anak kurang tepat. Hal itu akan berakibat pada ketimpangan sekolah, tidak hanya di Wonogiri, tetapi juga nasional. 

Mulyadi menerangkan banyak sekolah di Wonogiri yang memiliki bangunan tidak lagi ideal untuk kegiatan belajar mengajar. Dia menilai jika kebijakan itu diterapkan terus menerus, akan banyak siswa SD di Wonogiri yang bersekolah di tempat yang tidak nyaman.

Secara tidak langsung, itu mengganggu proses belajar. Kebijakan menggabungkan sekolah yang memiliki sedikit siswa pun tidak serta merta menjadi solusi. Melihat geografis Wonogiri, bahkan ada beberapa wilayah yang jarak antarperukiman jauh, penggabungan sekolah justru rawan meningkatkan angka putus sekolah. 



Ia mencontohkan di Kismantoro ada desa yang hanya punya ada satu SD terdekat dan siswanya sedikit. Tetapi ketika sekolah itu digabung dengan sekolah lain, anak-anak di sana harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk bersekolah.

“Padahal medan jalannya juga tidak mudah untuk mereka. Pemberian DAK kepada sekolah itu bisa dievaluasi,” jelasnya.

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya