Soloraya
Rabu, 31 Agustus 2022 - 09:50 WIB

Desa Sukorejo Lahir Setelah Babad Alas Sosok Keturunan Ki Ageng Derpoyudo

Tri Rahayu  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Balai Desa Sukorejo di wilayah Kecamatan Sambirejo, Sragen, dengan pagar dicat merah. Foto diambil Senin (29/8/2022). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN—Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Sragen, yang terletak di ujung tenggara Kabupaten Sragen mendapat julukan baru sebagai Desa Mandiri Energi kategori mapan dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah mulai April 2022 lalu.

Desa ini ternyata memiliki sejarah yang cukup tua lantaran dibuka kali pertama pada Abad XIX oleh Cokro Sentono, seorang keturunan dari Ki Ageng Derpoyudo yang tidak lain leluhur Sultan Hamengku Buwono di Yogyakarta Hadiningrat.

Advertisement

Keturunan ketiga Demang Cokro Sentono tinggal di Dukuh Kebonloji RT 003, Desa Jambeyan, Sambirejo, sekitar 1-2 km sebelah barat Desa Sukorejo, yang bernama Sunarto, 71.

Mbah Narto, sapaannya, mengisahkan tentang asal usul Sukorejo yang semula berupa alas sert ngaluwe yang kemudian dikenal dengan nama Ngaluwen.

Advertisement

Mbah Narto, sapaannya, mengisahkan tentang asal usul Sukorejo yang semula berupa alas sert ngaluwe yang kemudian dikenal dengan nama Ngaluwen.

Mbah Narto yang juga pemilik mobil antik Holden Spesial buatan 1965 bekas kepemilikan Kanjeng Gusti Putri Mangkunagara VIII menyebut nama Sukorejo muncul sekitar 1870-an. Kisah tentang Sukorejo diperoleh dari simbahnya yang juga anak ketiga dari Demang Cokro Sentono.

“Mbah Cokro Sentono itu merupakan adiknya Ki Ageng Derpoyudo II. Mbah Cokro inilah yang membabat alas kali pertama di Sukorejo itu dengan tujuan mempertahankan wilayah Kasunanan Surakarta bagian timur. Pada masa itu, Jambeyan itu merupakan perkebunan kopi milik orang Belanda yang bernama Tuan Poel. Dulu Tuan Poel itu tinggalnya ya di rumah yang saya tempati sekarang. Tugas Mbah Cokro itu mengamati pergerakan Belanda di Jambeyan ini,” jelas Mbah Narto saat berbincang dengan Solopos.com, Senin (29/8/2022).

Advertisement

Dia menduga nisan itu kemungkinan sekarang sudah tertimbun tanah. Posisi Tuan Poel itu, jelas dia, sepertai administratur.

Dia menerangkan sebelum Cokro Sentono membabat alas, pamannya Mbah Cokro Sentono mendapatkan perintah dari Ki Ageng Derpoyudo untuk memetakan wilayah Sukorejo.

Dalam silsilah Derpoyudan, jelas dia, pamannya Cokro Sentono itu sudah mendapatkan nama Demang Sukorejo tetapi tidak mengetahui nama aslinya.

Advertisement

“Walau pun pamannya Mbah Cokro itu sudah menyandang gelar Demang Sukorejo, tetapi saat itu belum ada Desa Sukorejo. Hasil pemetaan itu kemudian diserahkan kepada Mbah Cokro. Kemudian Mbah Cokro mendatangkan orang-orang dari wilayah Derpoyudan untuk datang ke wilayah Sukorejo. Nah, saat itu hidup mereka antara hidup dan mati dalam istilah Jawa mati apa urip sehingga lokasi itu dikenal dengan sebutan Dukuh Tirep,” jelas Mbah Narto.

Dia melanjutkan Mbah Cokro ini masih mengamati pergerakan Belanda di wilayah itu. Bahkan kakaknya Mbah Cokro itu diambil istri oleh Tuan Chrif yang juga pemilik perkebunan kopi di wilayah Ngrambe, Jawa Timur.

Saat itu lalu lintas Jambeyan-Ngrambe cukup ramai karena menjadi jalur perdagangan kopi. Dia melanjutkan saat itu Cokro Sentono menyamar jadi pemelihara kuda.

Advertisement

“Saat itu Mbah Cokro bertanya kepada orang Belanda bagaimana caranya menjadi demang. Akhirnya dijawab supaya membabat alas dan mendirikan minimal 15 wuwung (rumah). Sejak mengetahui hal itu, Mbah Cokro mengajak pendatang dari Derpoyudan untuk membabat alas dan mendirikan permukiman baru yang kemudian diberi nama Desa Sukorejo,” jelas Mbah Narto.

Dia menerangkan nama Sukorejo itu berasal dari dua kata “suka” yang berarti menyukai dan “reja” artinya keramaian.

Dia mengatakan Sukorejo itu maknanya suka keramaian dalam arti yang positif, yakni dari yang awalnya hutan menjadi perkampungan yang padat penduduk.

“Mbah Mariyem itu simbah saya yang lahir 1895 merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara anaknya Mbah Cokro Sentono. Posisi Demang Sukorejo kemudian dilanjutkan anak bungsu Mbah Wignyo. Bapak saya namanya Kadir atau Hadi Suroyo atau Sastro Waluyo itu lahirnya pada 1912. Dulu bapak saya itu pernah menjadi Kepala Sekolah SD Sukorejo. Bapak juga pernah mendirikan SD Sambi 1 dan SD Lempong 1. Pada 1946-1947 pernah sekolah jarak jauh di Bandung untuk mendapatkan ijazah guru,” jelasnya.

Mbah Cokro Sentono meninggal dunia dan dimakamkan di Gunung Renjeng atau orang menyebutnya Gunung Nggrenjengan masuk wilayah Desa Sukorejo.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif