SOLOPOS.COM - Ogog-ogoh berbentuk tikus dan raksasa dikirab di depan Balai Kota Solo, Sabtu (18/3/2023). (Istimewa/Humas Pemkot Solo)

Solopos.com, SOLO —  Pujian hingga kritik membangun disampaikan sejumlah pihak atas pesatnya pembangunan  hingga pemanfaatan ruang di Kota Bengawan.

Hal lain yang menarik dan penting dari adanya ruang publik yakni semakin rutin masyarakat berkumpul maka tidak mudah dipecah belah.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Maka tak heran branding Solo sebagai kota toleran juga semakin kuat dengan banyaknya event kebudayaan hingga keagamaann yang dirayakan bersama di sekitar kompleks Balaikota.

Penggiat seni asli Kota Bengawan sekaligus Ketua Komunitas Rumah Banjarsari Solo, Zen Zulkarnain, Jumat (9/6/2023), mengatakan keunggulan Balai Kota sebagai ruang berkumpul tidak hanya karena animo masyarakat yang tinggi, tetapi karena berhasil mempertemukan seluruh lapisan warga Solo menjadi satu.

Zen sangat mengapresiasi sedikit dari ruang publik di Solo yang berhasil dimanfaatkan warga menjadi ruang ekspresi. Salah satunya adalah Balai Kota yang halaman dan pendapanya menjadi lokasi masyarakat berkumpul dan bersosialisasi.

Selanjutnya adalah car free day yang diinisiasi sejak pemerintahan Joko Widodo kini secara organik mulai berjalan rutin dan menjadi pertemuan warga yang berhasil meningkatkan interaksi sosial.

Hal itu sulit terjadi di event atau lokasi berbayar yang hanya dapat diakses segelintir masyarakat.

Zen juga mengkhawatirkan jika banyaknya event berbayar di Solo bisa menimbulkan kesenjangan sosial yang kemudian membuat masyarakat mudah terpecah belah.

Itu sebabnya, menurut Zen multiplayer effect harus dibuktikan.

Zen melihat kondisi di sekitarnya, kesenjangan sosial yang masih terasa karena ada masyarakat kelas bawah sulit mencari kerja bahkan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, sementara kelas atas bisa menikmati konser dan event berbayar.

Ruang publik yang benar-benar sukses dimanfaatkan warga menurutnya yang tumbuh secara organik. Selain Balai Kota dan Car Free Day, dia juga kagum dengan Sasana Krida Mangkubumen yang setiap malam berhasil menjadi lokasi kumpul masyarakat.

Selanjutnya ada Sunan Jogo Kali, public space di dekat rumah mantan Wali Kota Solo, F. X. Hadi Rudyatmo. Menurutnya di lokasi tersebut banyak pertunjukan seni dan tersedia panggung yang menjadi sarana masyarakat mengekspresikan hasil kreasi mereka.

Dikaji Ulang

Zen mengatakan meskipun Solo tengah membangun diri sebagai kota event, dampaknya hanya dirasakan segelintir masyarakat. Menurutnya belum semua acara di Solo berhasil menyentuh pembangunan akar rumput asli masyarakat Solo.

“Tergantung event, kalau konser musik pop seperti Dewa 19 atau Deep Purple jelas tidak semua orang merasakan dampaknya, bahkan walaupun disebut akan memberikan multiplayer effect tetapi itu tidak berpengaruh apa-apa kepada masyarakat akar rumput Solo. Penikmat konser itu hanya yang bisa membeli tiket dan dari luar kota, keberadaan mereka hanyalah untuk meningkatkan okupansi hotel yang juga didominasi hotel menengah ke atas saja,” papar Zen saat dihubungi Solopos.com, Jumat (9/6/2023).

Menurutnya, tidak masalah pembangunan Kota Solo bersifat industri dan mengejar bisnis. Namun pemerintah Kota Solo tidak bisa mengklaim pembangunan Solo sebagai kota event berhasil menyentuh akar rumput Kota Bengawan.

Perlu dikaji juga secara ekonomi apakah multiplayer effect benar-benar terlaksana setelah berbagai event dan pembangunan Solo di era Wali Kota Gibran Rakabuming Raka terlaksana.

Apalagi, berbagai konser dan event di Solo yang berasal dari luar juga mendatangkan event organizer (EO) dari Jakarta, sementara EO lokal tidak semua kebagian pekerjaan.

Zen kemudian menyoroti Masjid Sheikh Zayyed yang menurutnya menjadi bentukan kebudayaan baru, karena tidak mengalami akulturasi di masyarakat dan langsung mengubah wajah kota.

Sebelum era Masjid Sheikh Zayyed, wajah Kota Solo adalah Masjid Agung, Keraton Kasunanan, Sriwedari, dan landmark khas Solo yang memang dekat dengan kebudayaan yang sehari-hari menjadi rutinitas warga Solo.

Sriwedari

Solo pernah memiliki ruang publik sesuai fungsinya yaitu di Sriwedari pada tahun 1954-1968. Sriwedari juga pernah menjadi ruang guyub pada era 2000-2004 hingga lahirlah sejumlah komunitas seni dan musik sebelum akhirnya digusur karena konflik kepentingan.

Kaprodi Magister Kajian Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret Solo, Susanto, Jumat, mengatakan wisata tumbuh dari aktivitas masyarakat, karena aktivitas akan memerlukan fasilitas.

Namun, pembangunan berbagai fasilitas tanpa ada aktivitas di dalamnya hanya akan sia-sia.

Sementara itu, aktivitas adalah sebuah kreasi yang tumbuh dari pikiran masyarakat. Dengan cara seperti itu, Susanto yakin wisata di Solo tidak akan tercabut dari akar rumput dan menjembatani kebutuhan masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya